PANDANGAN MOHAMMAD NATSIR TENTANG ISLAM SEBAGAI DASAR NEGARA

 


Oleh : Rizal Rahmatullah, S.Hum

(Bidang Kejamiyyahan  PC. Pemuda Persis Baleendah) 

 ABSTRAK

Konstituante merupakan lembaga perwakilan rakyat yang berfungsi untuk menyusun undang-undang dasar yang diatur dalam UUD 1949 dan 1950 pada Bab V pasal 186 Konstituante bersama-sama dengan pemerintah selekas-lekasnya menetapkan Konstitusi Republik Indonesia Serikat yang akan menggantikan Konstitusi sementara ini. Anggota konstituante dipilih oleh rakyat untuk menyuarakan gagasan berdasarkan keinginan rakyat. Majelis Konstituante terjadi pada 1956-1959. Mohammad Natsir salah satu anggota konstituante yang keras menyuarakan aspirasi Islam sebagai Dasar Negara dan menjadi pedoman negara. Perdebatan terjadi dalam sidang tersebut dari kalangan Islamis, Nasionalis dan Sekuler. Namun perdebatan yang terjadi belum menghasilkan titik temu sampai turun dekrit Presiden Soekarno pada 1959 mengembalikan pada UUD 1945.

Penelitian ini mengungkapkan pandangan Mohammad Natsir tentang Islam sebagai Dasar Negara yang dikemukakan dalam sidang Konstituante secara khusus. Adapun rumusan yang diangkat adalah 1. Biografi Mohammad Natsir 2. Pandangan Mohammad Natsir tentang Islam sebagai Dasar Negara.

Berdasarkan rumusan diatas penulis menggunakan metode penelitian deskriptif analitif. Metode penelitian deskriptif ini merupakan metode dalam memecahkan sebuah rumusan masalah dengan penggambaran keadaan subjek maupun objek permasalahan tersebut. Aspek permasalahan yang di usung dalam metode penelitian secara deskriptif.

Hasil penelitian ini adalah Natsir mempunyai peranan yang sangat penting dalam menyampaikan ideologi Islam sebagai Dasar Negara. Bukan hanya itu Natsir melobi partai-partai Islam untuk bersatu dalam mengusung ide tersebut. Natsir melihat Pancasila sebagai sistem sekuler. Hal tersebut bukan berarti Natsir merubah sikap terhadap Pancasila tetapi Natsir melihat dan merasa cemas jika nilai yang terkandung dalam Pancasila ditafsirkan sebagai suatu sistem yang netral agama sampai paling jauh menjauhkan negara dari nilai-nilai agama yang menjadi keyakinan masyarakat Indonesia

Kata kunci

 Natsir, Islam, Dasar Negara,

 

BAB I

PENDAHULUAN

 

1.1. Latarbelakang Masalah

Dalam perjalanan menuju Indonesia merdeka penuh dengan perjuangan, pergerakan dan revolusi yang diwarnai kekhawatiran konflik internal seperti tercermin dalam beberapa friksi antartokoh-tokoh yang berkisar pada taktik yang harus diikuti dalam perjuangan melawan Belanda. Namun sampai batas tertentu isu kemerdekaan Indonesia untuk sementara mampu membentuk kohesi antarberbagai golongan dan tokoh-tokoh perintis cita-cita Indonesia merdeka tersebut.[1] Hal tersebut dilakukan untuk memberikan kemudahan dan kelancaran demi terwujudnya kemerdekaan Indonesia dari tangan penjajah.

Banyak tokoh yang berperan penting dalam terciptanya kemerdekaan tersebut sehingga melahirkan sebuah perjalanan baru bagi bangsa Indonesia.  Salah satunya adalah Mohammad Natsir dengan partai Masyumi yang didirikan atas keinginan Jepang dengan membubarkan MIAI pada bulan Oktober 1943 yang mempunyai cabang-cabang di setiap keresidenan di Jawa.[2] Pembentukan Masyumi (November 1945) tampak hangat dan sambutan yang diberikan oleh umumnya rakyat Indonesia terhadap proklamasi kemerdekaan. Dengan melepaskan semua perbedaan baik yang bersifat pribadi maupun ideologi, seakan tiap orang berusaha memberi bantuan kepada kemerdekaan.[3]

Perjuangan Mohammad Natsir tidak berhenti sampai kemerdekaan Indonesia. Mohammad Natsir salah seorang tokoh yang perjuangannya sering menjadi sasaran pandangan yang berbeda–beda, bertitik tolak dari permasalahan negara Islam atau negara Indonesia yang berdasarkan Islam, mendesak dikemukakan bahwa Islam memang senantiasa mendasari cita-cita perjuangan Natsir. Pada tahun 1930-an sampai awal 1940-an telah terjadi polemik yang menarik dan berbobot antara Natsir dan Soekarno, dua tokoh yang sangat kontras tetapi berimbang secara intelektual. Permasalah pokok dari polemik tersebut adalah Islam dan Nasionalisme.[4] Pemikiran keduanya saling menjadi-jadi telihat dari karya Soekarno yang berjudul Islam Sontoloyo, Soekarno menyebutkan bahwa di zaman nabi belum ada sabun dan kreolin. Nabi waktu itu tidak bisa memerintahkan orang memaksa sabun dan kreolin[5] dan gagasan itu dibantah lagi oleh Mohammad Natsir dalam artikel Islam dan Akal Merdeka yang mengkritik pemahaman Islam dari kacamata Soekarno dengan mengatakan

“umpamanya lagi, sekarang dengan mikrosop kita suda bisa dapat tahu bahwa pada lidah anjing itu ada terdapat mikrob-mikrob yang bisa mengganggu kesehatan manusia. Baik ! akan tetapi semata-mata ini saja belum bisa memberi kita hak untuk membuang cara mencuci yang telah ditetapkan oleh Rasulullah itu. Demikian juga bila ada orang yang bisa melihat bahwa dalam sholat itu ada semacam gerak-badan (Sport). Dan kita sekarang sudah mendapat cara sport yang modern dan praktis. Kita boleh kerjakan sport itu, tapi apakah bisa salat itu lantas diganti saja dengan badminton, umpamanya?”[6]

 

Pemikiran yang terlihat melalui kacamata masing-masing dan perspektif berbeda terhadap Islam itu sendiri. Satu sama lain saling membenarkan argumen dan seolah-olah menghakimi salah satu sama lain. Seolah-olah menolak terhadap faham keislaman. Penolakan terhadap Islam terus tejadi, bahkan ada yang sempat juga mengatakan bahwa Islam agama impor. Mungkin saking geramnya ingin menghabisi Islam. Pokoknya segala hal ditempuh. Tak heran bila Natsir pun tak mendapat tempat dalam sejarah Indonesia. Padahal kita semua tahu, Dekrit Presiden 5 Juli 1959 oleh Soekarno seperti ditulis M. Hatta dalam Demokrasi Kita – adalah inskonstitusional. Tapi karena Soekarno yang menang, maka menjadi sah.[7]

Perjuangan Natsir yang kemudian aktif di partai Masyumi, pada 1946, dalam kabinet Syahrir, diangkat sebagai Menteri Penerangan. Natsir dapat bertahan dalam jabatannya ini selama tiga kabinet hingga 1949. Satu hal yang perlu dicatat, ada April 1950, Natsir berjasa menyelamatkan republik ini dengan mosi integralnya yang terkenal. Mosi ini berhasil menyatukan kembali Indonesia yang terpecah-pecah menjadi 17 negara bagian ke dalam republik. Seperti diketahui, baru beberapa tahun Indonesia merdeka, Belanda ingin menjajah kembai. Mereka melakukan agresi militer pertama pada 1947 dan kedua pada 1948. Akhirnya, untuk menghentikan pertikaian kedua negara ini, Belanda berhasil memecah belah Indonesia menjadi negara federasi dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) 1949. Dengan demikian, Belanda lebih mudah melakukan politik divide et impera-nya.[8] Pembentukan negara kesatuan, kata Natsir, hendaklah dilaksanakan tanpa menimbulkan konflik, baik antara negara-negara bagian itu maupun antara golongan masyarakat kita pada umumnya. Usul Natsir ini, yang terkenal dengan nama “mosi integral”.[9] Keberhasilan ini sekaligus menaikan pamor Natsir dan mengantarkannya ke puncak jabatan, perdana menteri.

Dalam hubungan bentuk negara, penyelesaiannya rupanya tidak sesulit yang disangka semula. Dan mosi integral dari Natsir tadi memang telah memudahkan jalan bagi pembentukan negara kesatuan. Tetapi masalah ini timbul lagi pada sidang-sidang Konstituante di Bandung yang dibentuk tahun 1956. Konstituante itu sendiri, yang dibentuk berdasar hasil Pemilihan Umum tahun 1955.[10] Pemilu 1955 menghasilkan empat partai besar, yaitu PNI, Masyumi, NU dan PKI. Dari komposisi ini terlihat tiga kekuatan politik Indonesia, yaitu nasionalis-sekuler, Islam, dan Marxissme/Sosialisme. Ketiga aliran dasar itu muncul ke permukaan dalam berbagai kelompok dan organisasi politik, dan mereka mengikuti pemilihan umum dengan penuh semangat dalam suasana bebas demokratis.[11] Langkah selanjutnya dari faham-faham tersebut dikeluarkan segenap kemampuannya berdasarkan ideologi masing-masing pada Sidang Konstituante 1956-1959.

M. Natsir sebagai salah satu anggota Konstituante menyerukan tentang Islam sebagai dasar negara. Namun dalam sidang tersebut terjadi beberapa perdebatan yang mengakibatkan jalan buntu dan melahirkan dektrit Presiden Soekarno yang memutuskan untuk kembali pada UUD 1945.

 

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latarbelakang diatas terkait rencana penelitian, dapat ditarik rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini, yaitu sebagai berikut :

1.      Bagaimana biografi Mohammad Natsir ?

2.      Bagaimana pandangan Mohammad Natsir tentang Islam sebagai dasar negara ?

 

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah diatas, kami sampaikan tujuan dari penelitian ini, yaitu ::

1.      Mengetahui biografi Mohammad Natsir

2.      Mengetahui pandangan Mohammad Natsir tentang Islam sebagai Dasar Negara

 

1.4. Definisi Operasional

1.      Islam

Secara etimologis (asal-usul kata, lughawi) kata “Islam” berasal dari bahasa Arab: salima (سَلِمَ) yang artinya selamat. Secara Terminologi Islam artinya Wahyu yang diurunkan oleh Allah SWT kepada Rasul-Nya untuk disampaikan kepada segenap umat manusia sepanjang masa dan setiap persada.[12]

2.      Dasar Negara

Dalam KBBI disebutkan arti dari dasar adalah pondasi atau bentuk gramatikal yang menjadi asal dari suatu bentukan[13]. Adapun negara menurut pengamat politik Miriam Budiarjo, pengertian negara adalah suatu wilayah yang penduduknya dipimpin oleh pejabat-pejabat dan melalui kekuasaan yang sah telah berhasil mengatur rakyatnya untuk patuh terhadap peraturan undang-undang.

 

1.5. Metode Penelitian

Dalam penyusunan makalah ini penulis menggunakan metode penelitian deskriptif analitif. Metode penelitian deskriptif ini merupakan metode dalam memecahkan sebuah rumusan masalah dengan penggambaran keadaan subjek maupun objek permasalahan tersebut. Aspek permasalahan yang di usung dalam metode penelitian secara deskriptif sangatlah beragam. Bisa membahas tentang masyarakat luas, lembaga, orang dan masih banyak lagi. Selain itu, metode ini juga menggambarkan fakta yang ada tentang suatu permasalahan yang sedang di selidiki. Ciri selanjutnya adalah adanya garis hubungan antar fenomena sehingga penulis pun harus menghubungkannya dengan baik.

 

 

BAB II

LANDASAN TEORI

 

2.1. Teori Great Man

Thomas Carylie dan Herbet Spencer memperkenalkan teori ini pada abad ke 18.[14] Teori ini mengatakan bahwa pemimpin besar (great leader) dilahirkan, bukan dibuat (leader are born, not made). dan dilandasi oleh keyakinan bahwa pemimpin merupakan orang yang memiliki sifat-sifat luar biasa dan dilahirkan dengan kualitas istimewa yang dibawa sejak lahir dan ditakdirkan menjadi seorang pemimpin di berbagai macam organisasi. Orang yang memiliki kualitas dapat dikatakan orang yang sukses dan disegani oleh bawahannya serta menjadi pemimpin besar. Senada dengan hal tersebut, Kartini Kartono dalam bukunya membagi definisi teori ini dalam dua poin, yaitu seorang pemimpin itu tidak dibuat, akan tetapi terlahir menjadi pemimpin oleh bakat-bakat alami yang luar biasa sejak lahirnya dan yang kedua dia ditakdirkan lahir menjadi seorang pemimpin dalam situasi kondisi yang bagaimanpun juga. James (1980), menyatakan bahwa setiap jaman memiliki pemimpin besar. Perubahan sosial terjadi karena para pemimpin besar memulai dan memimpin perubahan serta menghalangi orang lain yang berusaha membawa masyarakat kearah yang berlawanan.

Teori kepemimpinan ini dikembangkan dari penelitian awal yang mencangkup studi pemimpin besar. Para pemimpin berasal dari kelas yang istimewa dan memegang gelar turun-temurun. Sangat sedikit orang dari kelas bawah memiliki kesempatan untuk menjadi seorang pemimpin. Teori great man didasarkan pada gagasan bahwa setiap kali ada kebutuhan kepemimpinan, maka munculah seorang manusia yang luar biasa dan memecahkan masalah. Ketika teori great man diusulkan, sebagian besar pemimpin adalah orang laki-laki dan hal itu tidak bisa ditawar. Bahkan para peneliti adalah orang laki-laki juga, yang menjadi alasan untuk nama teori tersebut “great man”. Konsep kepemimpinan pada teori ini yang disebut orang besar adalah atibut tertentu yang melekat pada diri pemimpin atau sifat personal, yang membedakan antara pemimpin dan pengikutnya.

Teori ini secara garis besar merupakan penjelasan tentang orang besar dengan pengaruh individualnya berupa karisma, intelegensi, kebijaksanaan atau dalam bidang politik tentang pengaruh kekuasaannya yang berdampak terhadap sejarah. Pada teori ini sabagian besar bersandar pada pendapat-pendapat yang dikemukakan oleh Thomas Charly di abad 19 yang penah menyatakan bahwa sejarah dunia tidak melainkan sejarah hidup orang-orang besar. Menurutnya, seorang pemimpin besar akan lahir saat dibutuhkan sehingga para pemimpin ini tidak bisa diciptakan.[15]

 

 

BAB III

PEMBAHASAN

 

3.1  Biografi Mohammad Natsir

Sumatera pada saat abad ke 19 akhir dan 20 awal merupakan tempat lahirnya tokoh-tokoh revolusioner, sebab tanah Minang mulai tersentuh oleh faham-faham modern khususnya dalam pemahaman terhadap agama. Kemelut tidak bisa dihindarkan ketika disandingkan orang-orang fundamentalis dengan tradisonalis, contohnya pada saat Perang Paderi. Perang yang berankhir dengan campur tangan pihak Belanda yang menginginkan tanah Minang sebagai tanah jajahannya. Salah satu tokoh yang lahir di tanah Mingan tersebut adalah Mohammad Natsir. Mohammad Natsir dilahirkan dikampung Jembatan Berukir, Alahan Panjang Sumatera Barat, pada tanggal 17 Juli 1908. Dia adalah putra pasangan Sutan Saripado seorang pegawai pemerintah dan Khodijah.[16]  pergi ke Bandung pada 1927 untuk melanjutkan studinya pada AMS A-2 (Algemene Middlebare School Klasieke Afdeling, setingkat SMA sekarang) setelah ia menyelesaikan sekolah dasarnya di HIS (Hollandcsh Inlandsche School) dan Madrasah Diniyah di Solok, Padang (1916 - 1923) dan pendidikan menengah pertamanya di MULO (Meer Uitgebreits Lager Onderwijs) Padang 1923-1927.

Mohammad Natsir kecil sempat ditolak sebagai murid di Holandsch Inlandische School (HIS) Padang, sebuah sekolah bergengsi milik orang kulit putih yang banyak diminati saat itu. HIS hanya menerima anak pegawai negeri yang berpenghasilan besar atau anak saudagar kaya raya.[17] Selain menyelesaikan sekolah formalnya, Natsir pernah belajar di sekolah agama di Solok, yang dipimpin oleh Tuanku Mudo Amin seorang pengikut dan kawan Haji Rasul. Dia juga mengikuti pelajaran secara teratur yang diberikan oleh Haji Abdullah Ahmad, seorang tokoh pembaharu di Padang. Dari kegiatannya berguru kepada beberapa ulama pembaharu itu, dapat dikatakan bahwa Natsir telah mengenal ajaran pembaharuan Islam ini sejak kecil.[18] Dengan demikian Mohammad Natsir merupakan salah satu kader pembaharu yang telah disiapkan oleh para ulama dengan mempelajari Islam di Sumatera yang dikala itu disebut sebagai pulau yang pertama kali pembaharuan Islam di Minangkabau. Di Bandung, minat Natsir terhadap agama semakin berkembang. Pada 1929 ia mengajarkan agama Islam di sekolah Guru Hollands Inlandsche Kweekschool (HIK) dan MULO. Di MULO Natsir mulai berorganisasi dengan Jong Sumatra Bond yang diketuai oleh Sanusi Pane, lalu beliau masuk Jong Islamiten Bond. Natsir masuk JIB tentu tanpa alasan, sebab Natsir faham betul isi dari organisasi tersebut, sebagaimana yang diungkapkan Syafii Maarif, munculnya merupakan suatu fenomen yang menarik. Anggota-anggotanya secara intelektual mulai menyadari Islam sebagai suatu cara hidup yang semmpurna berkat tersebarnya gagasan-gagasan modern tentang Islam di kalangan mereka. Dalam anggaran dasarnya dikatakan bahwa dua tujuan hendak diraih JIB adalah : 1. Mempelajari Islam dan menganjurkan agar ajaran-ajarannya dilaksanakan; 2. Mengembangkan rasa simpati terhadap Islam dan para pengikutnya, disamping menunjukkan sikap toleran positif terhadap pemeluk agama lain.[19]

Menurut Mohammad Natsir, organisasi merupakan pelengkap untuk membantu dalam belajar selain yang didapatkannya di sekolah, dan memiliki andil yang cukup besar dalam kehidupan bangsa. Dari kegiatan berbagai organisasi inilah mulai tumbuh bibit sebagai pemimpin bangsa pada Muhammad Natsir.[20] Selain itu dia berusaha memperdalam agamanya dengan mengikuti pengajian-pengajian yang diselenggarakan oleh Persis dibawah bimbingan Ahmad Hasan. Ahmad Hassan (1887-1957), tokoh Persis yang sangat terkenal modern, berani, dan tegas dalam pendirian. Tuan Hasan sangat mengerti kebutuhan umat dan perlu pengkaderan agar gagasannya terus berjalan sesuai dengan al-Quran dan Sunnah nabi yaitu dengan merangkul kaum muda. Menurut Mohammad Natsir dalam kata sambutannya pada buku Tamar Djaja (1980), A. Hassan adalah ulama besar, gudang ilmu pengetahuan dan sumber kekuatan batin dalam menegakkan pendirian dan keimanan.[21]

Lewat Ahmad Hassan atau disebut juga Tuan Hassan, pekenalannya pada ide-ide gerakan modern Abduh semakin dalam dan intens. Natsir sendiri mengakui bahwa Abduh sangat berpengarh pada dirinya dalam membangun apresiasinya terhadap Islam. Ia, sebagaimana disampaikannya kepada Kahin, bahkan mengaku sangat terkesan pada tafsiran Abduh bahwa Islam merupakan satu sistem sosial. [22]

Persis (Persatuan Islam) menurut Ricklef, merupakan organisasi yang melahirkan anggota kelompok yang moderat. Pembelaannya yang gigih terhadap doktrin-doktrin Islam Modern, kecamannnyya terhadap segala sesuatu yang berbau takhayul, perlawanannya yang berapi-api terhadap nasionalisme dengan alasan bahwa nasionalisme telah memecah belah kaum muslim daerah yang satu dengan daerah lainnnya, kesemuanya itu membenarkan julukan organisasi tersebut, yaitu ‘Persis’ (berdasarkan atas kata Belanda precies, yaitu tepat). [23] Menurut Dadan Wildan Persis berdiri bukan karena masyarakat membutuhkannya karena masyarakat Islam Indonesia ketika itu tidak membutuhkan suatu perombakan tatanan kehidupan keislaman. Sebagian besar masyarakat Islam Indonesia ketika itu telah tenggelam dalam biusan taklid, jumud, khurafat, bidah, takhayul, syirik dan paham-paham sesat lainnya. Karena itu, masyarakat tidak membutuhkan berdirinya Persis, sebagaimana masyarakat jahiliyah tidak membutuhkan kedatangan Nabi Muhammad Saw. untuk mengubah mereka. Persis berdiri atas dasar kewajiban akan tugas Ilahi untuk mengubah kemandegan berpikir, membuka ketertutupan pintu ijtihad.[24] Persis memberikan warna ‘baru’ dalam memahami Islam secara mendalam dengan menjunjung tinggi nilai ibadah yang sesuai dengan tuntunan Al-Quran dan As-Sunnah.

Dalam organisasi ini, tuan Hasan menghidupkan kembali tradisi sunnah nabi dan dengan tegas mengejawantah al-Quran. Tuan Hasan sadar benar, salah satu sasaran dakwah yang harus digarapnya adalah para pemuda dan pelajar. Sebab, mereka kelak akan memimpin masa depan.[25] Pemuda-pemuda kerap datang atau didatangi Tuan Hasan. Beberapa diantaranya adalah dua sahabat karib dari Minangkabau : Fachrudin al-Khairi dan Mohammad Natsir.[26] Natsir juga mengikuti pelajaran agama di kelas khusus yang diadakan oleh Ahmad Hasan untuk anggota muda Persis yang sedang belajar di sekolah milik pemerintah Belanda dengan inisiatif Natsir, Persis kemudian mendirikan berbagai lembaga pendidikan, antara lain pendidikan Islam (Pendis) Natsir duduk sebagai direkturnya (1932-1942) dan Pesantren Persatuan Islam, pada tanggal 4 Maret 1936, untuk membentuk kader-kader yang mempunyai keinginan memperdalam dan mampu mendakwahkan, mengajarkan, dan membela ajaran Islam. Dengan demikian Natsir mempunyai hubungan yang rapat dengan Persis.[27] Disanalah Mohammad Natsir memulai langkah besarnya dalam proses melahirkan sejarah.[28] Setelah bergabung dengan Persis, yakni 1929 Natsir kemudian aktif menjadi anggota Jong Islamiten Bond yang didirikan oleh Agus Salim.[29]

Selain berguru pada Tuan Hasan, Natsir dan kelompok kecilnya di Jong Islamiten Bond, berguru pada Haji Agus Salim yang tinggal di Jakarta. Perjalanan hidup Salim seakan diatur oleh Tuhan, karena memang nasib yang membawanya ke Jazirah Arab tempat ia bekerja pada konsulat Belanda di Jeddah. Di sini ia memperoleh kesempatan untuk belajar bahasa Arab dan Islam dengan tekun. Adalah juga nasib yang membawanya ke lingkungan Sarekat Islam. Perkenalannya dengan partai ini (tahun 1915) adalah ketika ia dikirim oleh pihak kepolisian Belanda untuk mengamati kongres dan kegiatan SI di Surabaya; dengan kata lain, ketika ia menjadi intel Belanda. Salim mempunyai banyak murid dan pengikut yang belajar di sekolah-sekolah Belanda, termasuk di dalamnya anggota dan pemimpin Jong Islamiten Bond. Banyak di antara pemimpin JIB ini yang menjadi pewaris kepemimpinan umat Islam dalam bidang politik sesudah Indonesia merdeka.[30] Pengkaderan yang dilakukan Salim melalui JIB ini mempunyai dampak positif dalam membangun sinergi keindonesiaan.

Tokoh lain yang diakui Natsir juga berpengaruh pada pemikirannya adalah Syeikh Ahmad Soorkati (1870-1940), tokoh pendiri al-Irsyad yang sangat menentang diskriminasi dan eksklusivisme kaum Sayyid. Soorkati juga memiliki pandangan keagamaan yang modern seperti halnya A. Hassan.[31] Kepiawayan Natsir dalam menulis berbagai persoalan dimulainnya sejak ia menjadi siswaa AMS. Sejak  itu, Natsir sering menulis dalam berbagai majalah, terutama dalam majalah Pembela Islam. Latar belakang membuat majalah tersebut adalah munculnya faham komunis pada tahun 1922 yang memuat argumen-argumen untuk memojokkan Islam. Bahkan umat Islam pada saat itu menjadi malu jika harus bergerak atas nama Islam. Revolusi Komunis ini akhirnya kelak akan melahirkan Partai Nasional Indonesia (PNI) pada 1928. Pemerintah kolonialpun memandang bahaya Islam itu lebih besar daripada komunis (imej inilah yang akhirnya berkesan sampai sekarang). Untuk mengimbangi opini buruk tentang citra Islam, pada tahun 1929 Natsir dan kawan-kawannya di Bandung memuat majalah Pembela Islam[32]- sebuah majalah yang banyak dikagumi orang karena ketegasannya mempertahankan kemurnian Islam dari segenap serangan yang memojokkan Islam-  yang diterbitkan oleh Persis, juga dalam majalah An-Noer (Het-Licht)- sebuah majalah yang dikelola oleh Pengurus Besar Persatuan Pemuda Islam (Jong Islameten Bond), tempat Natsir menjadi Ketua Badan Inti (kernlichaam).[33]

Demikian pula pada zaman penjajahan Jepang yang memberikan harapan baru bagi umat Islam; harapan yang disebabkan oleh kekecewaan yang meluas pada rakyat Indonesia terhadap penolakan pihak Belanda mengenai berbagai tuntutan dalam bidang politik. Jepang menyatakan bahwa pemerintah Belanda lebih memperhatikan kalangan kristen dari pada kalangan Islam. Jepang menyatakan ketidaksetujuannya terhadap kebijaksanaannya itu. Akan tetapi, pernyataan Jepang yang akan memerdekakan Indonesia dan menghormati serta menjungjung tinggi Islam itu hanyalah propaganda. [34]

Kegiatan politik Natsir menonjol sesudah dibukanya kesempatan mendirikan partai politik pada bulan November 1945. Bersama tokoh-tokoh Islam lainnya seperti Sukiman dan Roem, dia mendirikan partai Islam Masyumi, menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) dan anggota Badan Pekerja KNIP. Perjalanan Natsir masuk Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) bisa dibilang sebagai kebetulan, sebab sebelum rapat pembentukan komite, Natsir menginap di rumah Kahar Muzakkar.  Kahar Muzakkar mengajak Natsir untuk hadir dalam rapat sidang tersebut. Padahal waktu itu Natsir bukan anggota, namanya kemudian tercantum sebagai anggota KNIP.

Natsir menjadi anggota KNIP pada September 1945. Januari 1946, ia dipilih menjadi Menteri Penerangan pemerintah saat itu. Lantas apa yang dilakukan Natsir sebagai Menteri Penerangan ? Pekerjaan utamanya adalah menjalin hubungan dengan pihak luar negeri agar bayi republik yang baru merdeka ini mendapat dukungan penuh negara lain.[35] Tugas yang diemban Natsir sebagai Menteri Penerangan sangat menentukan Indonesia dimata negara Internasional. Perlu digaris bawahi Indonesia pada saat itu masih belum menentukan bentuk negara baik ke dalam maupun ke luar.

Pada tahun 1967 dia mendirikan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia yang aktif dalam gerakan amal. Lembaga ini dengan Natsir sebagai tokoh sentral, aktif berdakwah bukan saja kepada masyarakat dan para mahasiswa di Jakarta dan kota lainnya, tapi juga di daerah terasing, membantu pendirian rumah sakit Islam dan pembangunan mesjid, dan mengirim mahasiswa tugas belajar mendalami Islam di Timur Tengah. Bahkan di antara mahasiswa ini kemudian menjadi tokoh nasional yang religius seperti Amien Rais, Yusril Ihza Mahendra, dan Nurchalis Majid, di antara beberapa tokoh penggerak orde reformasi yang mengganti orde Suharto.

Kegiatan dakwahnya ini telah menyebabkan hubungannya dengan masyarakat luas tetap terpelihara, hidup terus sebagai pemimpin informal. Kegiatan ini juga membawa Natsir menjadi tokoh Islam terkenal di dunia internasional dengan menjadi Wakil Presiden Kongres Islam se-dunia (Muktamar Alam Islami) yang berkedudukan di Karachi (1967) dan anggota Rabithah Alam Islami (1969) dan anggota pendiri Dewan Masjid se-Dunia (1976) yang berkedudukan di Mekkah. Di samping bantuan para simpatisannya di dalam negeri, badan-badan dunia ini kemudian banyak membantu gerakan amal DDII, termasuk pembangunan Rumah Sakit Islam di beberapa tempat di Indonesia. Pada tahun 1987 Natsir menjadi anggota Dewan Pendiri The Oxford Center for Islamic Studies, London.

Namun kebebasannya hilang kembali karena ia ikut terlibat dalam kelompok petisi 50 yang mengeritik Suharto pada tahun 1980. Ia dicekal dalam semua kegiatan, termasuk bepergian ke luar negeri. Sejak itu Natsir aktif mengendalikan kegiatan dakwah di kantor Dewan Dakwah Salemba Jakarta yang sekalian berfungsi sebagai masjid dan pusat kegiatan diskusi, serta terus menerus menerima tamu mengenai kegiatan Islam.

Dalam menjalani dua peran di Indonesia, yaitu politikus dan dai, tak heran jika beragam pandangan muncul kepada Natsir. Salah satunya pandangan dari Chalrles Kurzman, ia adalah salah seorang tokoh Islam Liberal. Dalam sebuah buku yang memuat 32 karangan penulis dari 19 negara. Buku tersebut menyebutkan bahwa Natsir merupakan salah satu tokoh Islam Liberal, sebab Natsir dalam buku tersebut menyebutkan kaum muslimin Indonesia untuk menerima negara Sekuler yang diproklamasikan 17 Agustus 1945.[36] Jelas sekali bahwa pandangan terhadap Natsir keliru, sebab sebagaimana fakta yang ditemukan Natsir sangat menjunjung tinggi nilai-nilai Islam sebagai ideologi negara Indonesia. Ketika perdebatan yang terjadi dengan Soekarno, Natsir sebagai seorang muslim sejati begitu gigih dalam memperjuangkan Islam sebagai dasar negara. Sebab dalam Islam, menurut Natsir kelima rumusan Pancasila ada di dalam Islam. Islam bukan hanya mengajarkan tatacara sholat tetapi Islam juga memperhatikan cara untuk bernegara. Maka benarlah jika Islam adalah agama bagi seluruh manusia.

Atas segala jasa dan kegiatannya pada tahun 1957 Natsir memperoleh bintang kehormatan dari Republik Tunisia untuk perjuangannya membantu kemerdekaaan Negara-negara Islam di Afrika Utara. Tahun 1967 dia mendapat gelar Doktor HC dari Universitas Islam Libanon dalam bidang politik Islam, menerima Faisal Award dari kerajaan Saudi Arabia pada tahun 1980 untuk pengabdiannya pada Islam dan Dr HC dari Universitas Sains dan Teknologi Malaysia pada tahun 1991 dalam bidang pemikiran Islam.[37]

Pada tanggal 7 Februari 1993 Natsir meninggal dunia di Jakarta dan dikuburkan di TPU Karet, Tanah Abang. Ucapan belasungkawa datang tidak saja dari simpatisannya di dalam negeri yang sebagian ikut mengantar jenazahnya ke pembaringan terakhir, tapi juga dari luar negeri, termasuk mantan Perdana Menteri Jepang, Takeo Fukuda yang mengirim surat duka kepada keluarga almarhum dan bangsa Indonesia.

Walaupun telah tiada, buah karya dan pemikirannya dapat dibaca dari puluhan tulisannya yang sudah beredar, mulai dari bidang politik, agama dan sosial, di samping lembaga-lembaga amal yang didirikannya. Perkawinannya dengan Nur Nahar, aktifis JIB pada tahun 1934 di Bandung telah memberinya enam orang anak.

 

3.2  Pandangan Mohammad Natsir tentang Islam Sebagai Dasar Negara

Natsir telah mempelajari Islam dengan dalam, ia termasuk ulama juga yang masuk Persatuan Islam dimasa muda dengan idenya yang menyerang ide Soekarno yang cenderung sekuler.[38]

Ketika Natsir begitu mesra dengan Ahmad Hassan dan H. Agus Salim, pemikiran Natsir semakin terasah dan hal itu menjadi latar belakang dan landasan bagi pemikiran serta aktifitas politik Mohammad Natsir. Deliar Noer menyebut Mohammad Natsir seseorang yang mengecam pikiran-pikiran Soekarno pada tahun 1930-an. Natsir seakan bertindak sebagai wakil dari golongan Islam yang pikiran serta sikapnya selama tiga dekade terakhir dalam periode penjajahan Belanda, ingin mengembalikan citra yang mendasar tentang Islam.[39] Hal tersebut sangat lumrah dilakukan Natsir mengingat langkah politiknya tidak bisa dilepaskan dengan agama yang dianutnya yaitu Islam. Pemahaman keislaman yang dia dapatkan dari guru-gurunya yang modernis. Mohammad Natsir menjadi seorang politikus santun dan ulama tidak lepas dari peran orang-orang besar yang berada dibaliknya.

Puncaknya terlebih saat adanya polemik masalah keagamaan dan kebangsaan pada dekade 1930 sampai 1940-an. Polemik itu beelangsung antara Ir. Soekarno di satu pihak dengan Ahmad Hassan dan Mohammad Natsir di pihak lain. Sejak tahun 1925 Agus Salim sudah memperingatkan kaum muslim yang saleh bahwa ide Soekarno tentang ‘Ibu Pertiwi Indoensia’ membahayakan kesetiaan tunggal kepada Tuhan. [40] Dalam konteks historis inilah dua kelompok yang saling bertentangan muncul dalam diskursus politik Indonesia; Golongan Islam dan Golongan Nasionalis.[41] Latar belakang yang berbeda, pendidikan yang berbeda serta pengaruh dari golongan melahirkan pemikiran yang berbeda-beda, itulah yang terjadi pada saat dekade 1930-an.

Tulisan-tulisan Soekarno yang pada awalnya berupa surat-menyurat antara A. Hassan dan Soekarno berubah menjadi ‘perang’ dingin intelektual berkenaan dengan pemahaman Islam dan Negara. Tulisan-tulisan itu antara lain berjudul “Memudahkan Pengertian Islam”, “Masyarakat Onta dan Masyarakat Kapal Udara” dan lain sebagainya.[42]

Salah satu artikel yang berjudul ‘Masyarakat Onta dan Masyarakat Kapal Udara’ yang isinya:

“ Pada suatu hari saya punya anjing menjilat air di dalam panci di dekat sumur. Saya punya anak Ratna Juami berteriak: ‘Papie, papie, si Ketuk menjilat air di dalam panci’, Saya menjawab: ‘Buanglah air itu dan cucilah panci itu beberapa kali bersih-bersih dengan sabun dan kreolin’. Ratna termenung sebentar. Kemudian ia menanya:’Tidakkah nabi bersabda bahwa panci itu musti dicuci tujuh kali, diantaranya satu kali dengan tanah?’ Saya menjawab: ‘Ratna, di zaman nabi belum ada sabun dan kreolin! Nabi waktu itu tidak bisa memerintahkan orang memakai sabun dan kreolin.’ Muka Ratna menjadi terang kemali. Itu malam ia tidur dengan roman muka yang seperti tersenyum, seperti mukanya orang yang mendapat kebahagiaan besar. Maha Besarlah Allah Ta’ala, maha mulialah nabi yang Ia suruh.”[43]

Artikel tersebut lantas direspon dengan cepat oleh M. Natsir, beliau menulis artikel dengan judul ‘Sikap Islam terhadap kemerdekaan Berfikir’, penulis mengutif artikel tersebut sebagian yaitu:

“menjaga kebersihan itu diperintah oleh agama kita. Caranya kita menjaga kebersihan itu diserahkan kepada kita, menurut ilmu kesehatan di zaman kita dan dengan alat-alat yang ada dalam masyarakat kita. Kalau kita dapat tahu bahwa jilatan anjing itu ada mengandung mikrob dan kita buang dengan sabun atau karbol, atau kita rebus dan kita bakar dengan spiritus samapai steril sama sekali, yang demikian adalah satu amal keduniaan menjaga kebersihan dengan cara umum juga disuruh oleh agama. Akan tetapi semua itu tidak menghilangkan bahagian ubudiyah dari masalah ini, yakni suruhan mencuci dengan tanah. Demikian  juga bila ada orang bisa melihat bahwa dalam salat itu ada semacam gerak-badan (sport). Dan kita sekarang sudah mendapat cara sport yang modern dan praktis. Kita boleh kerjakan sport itu, tapi apakah bisa salat itu lantas ditukar saja dengan badminton, umpamanya ? tentu tidak bisa bukan ?”[44]

Soekarno menghendaki penggunaan akal lebih digunakan dalam menyikapi masalah ubudiyah dan menyesuaikan aturan Islam sesuai zaman. Sedangkan Natsir menghendaki penggunaan akal namun harus disesuaikan dengan aturan Islam dan hukum Islam tidak bisa berubah walaupun berubahnya zaman dari masyarakat onta menjadi masyarakat kapal udara. Perdebatan tersebut meruncing keranah bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia yang baru lahir, Soekarno menghendaki bahwa dasar negara berdasarkan Pancasila sedangkan Natsir menghendaki dasar negara berdasarkan aturan Islam.

Awalnya perdebatan ini hanya antara dua tokoh yaitu A. Hassan dengan Soekarno, namun Natsir melibatkan diri dalam perdebatan inilah maka perseteruan religio-ideologis antara kedua kelompok diatas menjadi semakin keras dan sistematis. Mereka tidak hanya terlibat dalam perdebatan-perdebatan religio-ideologis mengenai watak nasionalisme Indonesia, melainkan mengembangkannya ke dalam suatu tema yang lebih lebar, yaitu tentang apa yang dapat disebut sebagai negara Indonesia merdeka dan modern yang dicita-citakan.[45] Perdebatan dan perbedaan tersebut ibarat dua belah mata pisau satu sama lain tidak bisa disatukan. Sebagimana yang Bahtiar sampaikan bahwa perdebatan ini terhenti dengan kedatangan pasukan militer Jepang di kepulauan Nusantara pada 1942 hingga Agustus 1945. Tetapi perseteruan politik antara kedua kelompok di atas tetap berlangsung.[46] Polemik antara dua tokoh nasionalis itu oleh Deliar Noer digambarkan sebagai dialog antara cita-cita Barat (Soekarno) dan cita-cita Islam (Natsir). Tidak ada jalan tengah yang dapat ditarik dari polemik tersebut.[47]

Latar belakang yang dimiliki Natsir menjadi sebuah landasan pergerakan Partai Masyumi. Pemikiran Natsir tentang ideologi Islam tidak akan lengkap bila tidak dihubungkan dengan pendapatnya tentang Pancasila. Persoalan ini dikemukakan Natsir saat berkunjung ke Pakistan pada tahun 1952 ketika berpidato di depan Lembaga Pakistan untuk Masalah-Masalah Dunia (Pakistan Institute of World Affairs). Beliau mengatakan bahwa Pancasila dianut sebagai dasar rohani, akhlak, dan susila oleh negara dan bangsa Indonesia. Namun seolah berbanding terbalik ketika Soekarno berpidato di Amuntai (Kalimantan Timur) kepada rakyat dalam permulaan tahun 1953 untuk menegakkan Pancasila dan menolak Islam sebagai dasar negara. Natsir melihatnya sebagai cermin dari ketidaktahuan banyak orang tentang ideologi Islam, dan menambahkan bahwa penamaan negara nasional, negara Islam hanya menambah kekusutan pikiran. Natsir mengingatkan perlunya toleransi agama dan perlindungan terhadap agama-agama lain.[48] Masyumi memandang pidato Natsir itu sebagai satu hal yang serius. Menurut partai ini, adalah merupakan kewajiban tiap muslim untuk menghilangkan salah pengertian tentang Islam. Muncul reaksi keras dikemukakan oleh M. Saleh Su’aidy, anggota Majelis Syuro, dan M. Isa Anshary, ketua Masyumi Jawa Barat. Dalam masalah ini Natsir angkat bicara, masalah pokoknya adalah tafsiran tentang Pancasila. Tidak seorang pun, katanya, termasuk perumus Pancasila sendiri, yang berhak memonopoli tafsirannya dan oleh sebab itu Natsir berhak untuk menafsirkannya pula. Natsir optimis dan yakin tidak seorang perumus pun yang akan setuju dengan suatu perumusan tentang Pancasila yang berlawanan dengan ajaran Islam.

Pendapat Natsir ini lebih jelas dikemukakan dalam pidatonya pada Konstituante di Bandung tahun 1957 dengan mewakili kebijakan Partai Masyumi ketika menolak Pancasila dijadikan dasar negara. Menurut penulis penolakan terhadap Pancasila bukan berarti Natsir berbanding terbalik dengan pidatonya di Pakistan dan pendapat tentang tafsiran Pancasila pada Al-Quran. Namun Natsir hanya menolak pendapat dari kaum sekuler, khususnya pendapat dari Soekarno yang memandang sila Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan ciptaan manusia. Dihubungkan dengan pemikiran Soekarno yang senantiasa mengemukakan negara sekuler.[49]

Dalam pidatonya di depan Majelis Konstituante, dengan tegas Natsir mengemukakan:

“adapun state philosophy, atau dasar negara yang akan dirumuskan, apabila tidak berpusan dan mendapat nucleus  di dalam Kedaulatan Tuhan yang mutlak, perumusan itu akan merupakan rangkaian butir-butir pasir yang kering, yang tidak ada mengandung kekuatan apa pun juga”[50]

            Ketika sidang Majelis Konstituante berlangsung pengusungan Islam sebagai dasar negara oleh partai-partai Islam menurut Natsir adalah bahwa ajaran Islam mempunyai sifat-sifat sempurna bagi kehidupan negara dan masyarakat dan dapat menjamin keragaman hidup antar berbagai golongan dalam negara dengan penuh toleransi.[51] Hal ini menjadi bukti bahwa agama minoritas tidak perlu takut terhadap Islam sebagai dasar negara, karena Islam mengajarkan melindungi setiap makhluk hidup. Namun imbauan ini sudah banyak dikemukakan oleh para cendikiawan modernis baik di dalam maupun diluar negeri, hasilnya tidak mudah untuk digulirkan karena contoh suatu negara Islam yang baik dan efektif di masa moodern ini belum muncul kepermukaan bumi kecuali dalam nama.

            Sebagai seorang muslim dan pemimpi Masyumi, jelas sudah posisi Natsir pada saat itu. Baginya tak ada pilihan lain sebagai dasar negara, kecuali Islam yang melandasi kehidupan individual, bermasyarakat dan bernegara. Natsir menyatakan bahwa Indonesia hanya mempunyai dua alternatif pilihan sebagai dasar negara: paham sekularisme (ladiniyah) atau paham agama (diniy). Uraian tentang sekularisme Natsir mengemukakan bahwa Pancasila bukan bersumber kepada salah satu wahyu Illahi, oleh karena itu Pancasila adalah sekuler sebab dia merupakan produk manusia.[52] Selanjutnya didalilkan bahwa negara sebagai dunia merupakan sesuatu yang mutlak bagi al-Quran, sebab hanya dengan itulah aturan-aturan dan ajaran-ajarannnya dapat dilaksanakan dalam kehidupan nyata. Bagi pemimpin Modernis ini, negara adalah alat bagi Islam untuk melaksanakan hukum-hukum Allah demi keselamatan dan kesentosaan manusia. Sebagai alat, adanya negara bersifat mutlak, karena itu Natsri membela prinsip persatuan agama dan negara.[53]

Natsir mengemukakan Islam sebagai dasar negara bukan berarti ingin mendirikan sebuah negara Islam. Jika memang           ingin mendirikan negara Islam, saat menjabat sebagai Perdana Menteri bisa saja melakukannya (1950-1951). Sebab pancasila banyak ditafsirkan sebagai suatu sistem sekuler yang bisa diutak-atik oleh siapapun termasuk oleh pengusung Sosial Ekonomi (PKI).

            Hal itu sebagai konsekuensi logis dari keyakinannya sebagai tokoh Islam dan kedudukannya sebagai pemimpin Partai Masyumi yang mewakili umat Islam Indonesia, sehingga harus bertanggung jawab terhadap umat dan semaksimal mungkin memperjuangkan amanat umat yang telah memilih dan mempercayainya. Walaupun akhirnya Konstituante dibubarkan melalui dektrit Presiden pada 5 Juli 1959 dan UUD 1945 dengan Pancasila sebagai dasar negara dinyatakan berlaku kembali.

 

 

BAB IV

PENUTUP

 

4.1. Simpulan

Natsir seorang politikus, cendekiawan, dan ulama memandang penerapan Islam sebagai dasar negara dilatarbelakangi tafsiran yang menyudutkan dan mengarah pada sekuler. Disamping itu natsir menyampaikan Islam mempunyai nilai-nilai kehidupan yang bisa menjaga satu sama lain walaupun berbeda agama, ras, dan suku. Karena itu tidak dipungkiri Islam sebagai Dasar Negara.

4.2. Saran

Pada makalah ini penulis meyakini belum dan jauh dari kata sempurna. Penulis mengharapkan untuk adanya penelitian yang lebih detail dan terstruktur baik dalam format penulisan, metode, teori hingga sumber yang diperoleh dalam penyusunan makalah ini.

 
 

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Anshari, Endang Saifuddin Kuliah Al-Islam, Pusataka Bandung, 1978

Andi Bastoni dkk, Hepi, Muhammad Natsir Sang Maestro Dakwah, Jakarta :  1985

Dzulfikriddin, M. Mohammad Natsir dalam Sejarah Politik Indonesia, 2010, Bandung:

Mizan.

Effendy, Bachtiar 1998, Islam dan Negara, Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam

di Indonesia, Jakarta: Paramadina.

Hamid, Abdul Pemikiran Modern Dalam Islam, Pustaka Setia: 2010

Iqbal, Muhammad. Pemikiran Politik Islam dari Masa Klasikhingga Indonesia Kontemporer,

Kencana:Jakarta, 2010

Ma’arif, Syaifi’i Islam dan Pancasila sebagai Dasar Negara, LP3S:Jakarta, 1996

Natsir, Mohammad. Islam dan Akal Merdeka, Sega Arsy:2015

Natsir, Mohammad. Islam Sebagai Dasar Negara (Bandung : Pimpinan Fraksi Masyumi

dalam Konstituante, 1957)

Nata, Abudin. Tokoh-Tokoh Pambaruan Pendidikan Islam Di Indonesia, Jakarta;Rajda

Grafindo Persada, 2005

Noer, Deliar 1987, Partai-Partai Islam di Pentas Nasional 1945-1965, Jakarta: Grafiti

Ricklefs, M. C., Sejarah Modern Indonesia, Gadjah Mada University:2011

Soekarno, Dibawah Bendera Revolusi, Vol. I, Jakarta: Panitia Penerbitan Dibawah Bendera

Revolusi, 1964

Soekarno, Masyarakat Onta dan Masyarakat Kapal Udara, dalam Islam Sontoloyo, Bandung:

Sega Arsy, 2015

Waluyo, Dari Pemberontak Menjadi Pahlawan Nasional, Yogyakarta: Ombak, 2009

Watik Pratiknya, Ahmad. Percakapan Antar Generasi Pesan Perjuangan Seorang Bapak,

(Jakarta: DDII, 1989)

Wildan, Dadan Yang Da’i Yang Politikus. (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1997)

Yatim, Badri. 2011, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Raja Grapindo Persada

 

 

 

 

 

 

Pustaka dalam bentuk artikel dalam majalah ilmiah/jurnal:

 

Mulyaatman, Emman dalam Majalah Sabili edisi khusus 100 Tahun M. Natsir, 2008  

 

Pustaka dalam bentuk artikel dalam internet

https://kbbi.web.id/dasar diambil pada 07 - 08 – 2020 pukul 09.00

https://makhinoaruma.blogspot.com/2013/04/teori-orang-orang-besar-greath-man.html diakses pada 07 - 08 – 2020 pukul 09.00

https://teoripemimpin.blogspot.com/2016/11/teori-kepemimpinan-menurut-great-man.html 07 - 08 – 2020 pukul 09.00

 



[1] J.Eliseo Rocamora, dikutip oleh Waluyo dalam bukunya Dari Pemerontak menjadi Pahlawan Nasional, hal. 2

[2]M.C. Ricklefs, Sejarah Modern Indonesia, Gadjah Mada University:2011, hal. 309

[3] Deliar Noer, Partai-Partai Islam di Pentas Nasional,Bandung: Mizan, 1987, hal 47

[4] Waluyo, Dari Pemberontak Menjadi Pahlawan Nasional, Yogyakarta: Ombak, 2009, hal 8

[5] Soekarno, Masyarakat Onta dan Masyarakat Kapal Udara, dalam Islam Sontoloyo, Bandung: Sega Arsy, 2015, hal. 176-186

[6] Mohammad Natsir, Islam dan Akal Merdeka, Sega Arsy:2015, hal. 156

[7] Eman Mulyaatman, dalam Majalah Sabili edisi khusus 100 Tahun M. Natsir, 2008  

[8]Muhammad Iqbal, Pemikiran Politik Islam dari Masa Klasikhingga Indonesia Kontemporer, Kencana:Jakarta, 2010, hal. 220

[9] Deliar Noer, Partai-Partai Islam di Pentas Nasional 1945-1965, Jakarta: Grafiti hal. 279

[10]Ibid, hal. 281

[11]Syaifi’i Ma’arif, Islam dan Pancasila sebagai Dasar Negara, LP3S:Jakarta, 1996, hal. 123

[12]  Endang Saifuddin Anshari, Kuliah Al-Islam, Pusataka Bandung, 1978, hlm. 46

[13] https://kbbi.web.id/dasar diambil pada 07 - 08 – 2020 pukul 09.00

[16] Abuddin Nata, Tokoh-Tokoh Pambaruan Pendidikan Islam Di Indonesia, Jakarta;Rajda Grafindo Persada, 2005, hal. 73

[17] Hepi Andi Bastoni dkk, Muhammad Natsir Sang Maestro Dakwah, Jakarta ; Mujtama Press, 2008, hal. 2

[18]Dadan Wildan, Yang Da’i Yang Politikus. (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1997) hal. 53

[19] Mohammad Roem dalam buku Ahmad Syafii Ma’arif, Islam dan Pancasila sebagai Dasar Negara., Jakarta: LP3S, 1985, hal. 94

[20] Abudin Nata, Tokoh-Tokoh Pambaruan Pendidikan Islam Di Indonesia, Jakarta;Rajda Grafindo Persada, 2005, hal. 74

[21] Dadan Wildan, Dadan Wildan, Yang Da’i Yang Politikus. (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1997)  hal. 31

[22]  Abdul Hamid, Pemikiran Modern Dalam Islam, Pustaka Setia: 2010, hal. 219

[23] M.C. Rickleff, Sejarah Indonesia Modern, Gadjah Mada University Press; 2011, hal 269

[24] Dadan Wildan, Dadan Wildan, Dadan Wildan, Yang Da’i Yang Politikus. (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1997), hal. 8

[25] Majalah Sabili, Edisi Khusus 100 tahun M. Natsir, hal. 14

[26] Ibid, hal. 14

[27] Dadan Wildan, Yang Da’i Yang Politikus. (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1997) hal. 54

[28] Majalah Sabili, Edisi Khusus 100 tahun M. Natsir , hal 14

[29] Waluyo, Dari Pemberontak Menjadi Pahlawan Nasional, Yogyakarta: Ombak, 2009, hal. 20

[30] Deliar Noer, Partai-partai Islam di Pentas Nasional, Grafiti Press; 1987, hal. 13

[31] Ahmad Watik Pratiknya, Percakapan Antar Generasi Pesan Perjuangan Seorang Bapak, (Jakarta: DDII, 1989), hal. 26-31.

[32] Majalah Sabili, Edisi Khusus Seratus Tahun Mohammad Natsir, hal. 21

[33] Dadan Wildan, Yang Da’i Yang Politikus. (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1997) hal. 59

[34] Ibid, hal. 61

[35] Majalah Sabili, Edisi Khusus 100 Tahun Mohammad Natsir, thn. 2008, hal. 29

[36] Majalah Sabili, Edisi 100 Tahun Mohammad Natsir, hal. 27

[37] Dadan Wildan, Yang Da’i Yang Politikus. (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1997), hal. 30

[38] Deliar Noer, 1987, Partai-Partai Islam di Pentas Nasional 1945-1965, Jakarta: Grafiti hal. 89

[39] The Modernist Muslim, hal. 275 dalam Deliar Noer, Partai-Partai Islam di Pentas Nasional,Bandung: Mizan, 1987,hal. 8

[40] M. C. Ricklefs, , Sejarah Modern Indonesia, Gadjah Mada University:2011, hal. 285

[41] Bahtiar Effendy, 1998, Islam dan Negara, Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, Jakarta: Paramadina. hal. 70

[42] Soekarno, Dibawah Bendera Revolusi, Vol. I, Jakarta: Panitia Penerbitan Dibawah Bendera Revolusi, 1964, hal. 369-500. Dalam Soekarno, Islam Sontoloyo, Sega Arsy cet. 4 2015, hal. 5

[43] Majalah Pandji Islam dalam Soekarno, Islam Sontoloyo, Sega Arsy cet. 4 2015, hal. 186

[44] Panji Islam, Juli 1940 dalam M. Natsir, Islam dan Akal Merdeka, Segar Arsy: 2015, hal. 156

[45] Bachtiar Effendy, 1998, Islam dan Negara, Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, Jakarta: Paramadina. hal. 72

[46] Ibid, hal. 82

[47] Badri Yatim, 2011, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Raja Grapindo Persada.hal. 263

[48] Deliar Noer, 1987, Partai-Partai Islam di Pentas Nasional 1945-1965, Jakarta: Grafiti hal. 131

[49] Deliar Noer, 1987, Partai-Partai Islam di Pentas Nasional 1945-1965, Jakarta: Grafiti hal. 133

[50] Ahmad Syafii Ma’arif, Islam dan Pancasila sebagai Dasar Negara., Jakarta: LP3S, 1985, hal. 132

[51] Mohammad Natsir, Islam Sebagai Dasar Negara (Bandung : Pimpinan Fraksi Masyumi dalam Konstituante, 1957), hal 11.

[52] M. Dzulfikriddin, Mohammad Natsir dalam Sejarah Politik Indonesia, 2010, Bandung: Mizan, hal. 116

[53] Mohammad Natsir, Islam Sebagai Dasar Negara (Bandung : Pimpinan Fraksi Masyumi dalam Konstituante, 1957), hal 267


 


Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.