Oleh
: Rizal Rahmatullah
( Bidang Jam'iyyah PC. Pemuda Persis
Baleendah)
Abstrak
Pendidikan
Islam merupakan aspek yang sangat penting dalam berkehidupan berbangsa dan bernegara.
Pendidikan menjadi bekal yang efektif dalam kehidupan sehari-hari yang baik
yang diatur oleh agama maupun negara. Pendidikan diharapkan mampu menciptakan
generasi yang mampu meneruskan cita-cita bangsa dan agama sehingga mampu
bersaing dengan bangsa yang lain. Pendidikan merupakan usaha sadar dan
terencana untuk mewujudkan suasana belajar mengajar agar peserta didik secara
aktif dapat mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuata spiritual
keilmuan, pengendalian diri, kepribadian,kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan lain yang diperlukan oleh dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif dengan
analisis deskriptif. Hasil dari penelitian ini yaitu, pendidikan Islam di Indonesia
mengalami berbagai hambatan dan tantangan, baik dari intern maupun ekstern.
Dengan hadirnya SKB dan UUSPN 2003 membawa angin segar dan menjadi regulasi
terhadap ketetapan dan kejelasan Pendidikan Islam di Indonesia.
Kata Kunci : Pendidikan,
Islam, Indonesia.
A. Pendahuluan
Pendidikan
menempati posisi istimewa dalam Islam. Hal ini terlihat sejak awal
kelahirannya, Islam telah memberikan perhatian yang besar terhadap masalah
pendidikan. Dalam pandangan Islam, pendidikan merupakan usaha yang paling
strategis untuk mengangkat harkat dan martabat manusia sebagai makhluk yang
mulia dibandingkan makhluk lain. Melalui pendidikan, berbagai potensi yang
dimiliki manusia, yakni potensi basyariyah, insāniyah dan an-nās yang dimiliki
manusia dapat diberdayakan secara optimal sehingga ia dapat melaksanakan
fungsinya sebagai khalifah di muka bumi dalam rangka memaksimalkan ibadah
kepada Allah Swt.[1] Pendidikan
Islam dijadikan sebagai sarana yang kondusif bagi proses transformasi ilmu pengetahuan
dan budaya Islami dari satu generasi kepada generasi berikutnya.[2]
Persoalan pendidikan Islam di Indonesia kita lihat salah satu dari rumusan
tujuan negara Republik Indonesia yang dicantumkan dalam Pembukaan Undang-Undang
Dasar 1945 adalah mencerdaskan kehidupan bangsa, karena itu negara sangat
bertanggung jawab terhadap terlaksananya upaya mencerdaskan kehidupan bangsa
tersebut. Berbagai upaya telah dirintis sejak awal Indonesia merdeka. Upaya
pertama, dibentuklah Kementerian Pendidikan dan Pengajaran, seterusnya pada
tahun 1946 membentuk Panitia Penyelidik Pendidikan dan Pengajaran, dan pada
tahun 1947 mengadakan Kongres Pendidikan pertama di Solo, tahun 1947 Kongres
Pendidikan kedua di Yogyakarta, dan pada tahun 1950 lahirlah Undang-Undang Nomor
4 Tahun 1950 dengan nama Undang-Undang tentang Dasar Pendidikan dan Pengajaran
(UUPP), tahun 1954 lahirlah Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1954 tentang
pernyataan berlakunya UU No. 4 Tahun 1950, tahun 1961 lahir UU No. 22 Tahun
1961 tentang Pendidikan Tinggi, dan barulah pada tahun 1989 lahir Undang-Undang
No. 2 Tahun 1989 Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional yang kemudian
diiringi dengan seperangkat Peraturan Pemerintah tentang itu, dan tahun 2003
lahirlah Undangundang No. 20 Tahun 2003.[3]
Usaha untuk menjadikan pendidikan Islam sebagai salah satu bentuk
penyadaran secara religi sudah dilakukan semenjak Indonesia merdeka. Seiring
berjalannya waktu, tujuan yang mulia itu ternyata tidak sebanding dengan apa
yang terjadi di lapangan. Berbagai masalah muncul seiring bergantinya pemangku
kebijakan dan bergantinya zaman yang mengakibatkan proses pemenuhan penyadaran
tersebut banyak kendala.
Hasil yang diharapkan dan yang dinantikan oleh seluruh rakyat di penjuru
pelosok tanah air, tak kunjung tiba, namun hasil-hasil negatif yang sering
menjelma. Kehidupan beragama makin lama makin menipis dalam masyarakat,
terutama di kalangan kaum terpelajar dan kaum intelegensia. Bahkan banyak yang
meremehkan dan kadang-kadang menentang kehidupan berbangsa dan bernegara. Pada
tahun 1998 tepatnya pada bula Mei terjadilah gerakan yang dipelopori gerakan
mahasiswa yang mengatasnamakan reformasi, yang kemudian lengserlah kekuatan
Orde Baru. Salah satu tuntutan gerakan reformasi adalah diadakannya reformasi
di segala bidang termasuk di bidang pendidikan.[4]
Sistem
pendidikan nasional yang telah dibangun selama tiga dasa- warsa terakhir ini
ternyata belum mampu sepenuhnya menjawab kebutuhan dan tantangan nasional dan
global dewasa ini. Program pemerataan dan peningkatan kualitas pendidikan yang
selama ini merupakan fokus pembinaan masih menjadi masalah yang paling menonjol
dalam dunia pendidikan.[5]
Begitupun pendidikan Islam yang dipandang sebagai pijakan penting dalam
memberikan sumbangsih kehidupan berbangsa dan bernegara. Atas dasar
problematika yang terjadi diatas menjadi latar belakang penulisan makalah ini
dibuat dengan judul Pendidikan Islam Dalam Konteks Pendidikan Nasional.
B. Rumusan Masalah
Rangkaian aktivitas dilakukan sebagai ikhtiar
untuk mengembangkan dan memajukan bangsa. Terlebih pendidikan Islam yang
menjadi ruh dalam pergerakan baik berbangsa dan bernegara. Berdasarkan latar
belakang diatas, ditarik beberapa rumusan masalah yang akan menjadi kajian pada
penelitian ini, diantaranya :
1. Bagaimana konsep
pendidikan Islam di indonesia ?
2. Bagaimana
Dinamika Pendidikan Islam dalam konteks pendidikan nasional ?
C. Tujuan
Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah diatas, penulis mempunyai tujuan dalam membuat
makalah ini, diantaranya adalah :
1. Mengetahui
pendidikan Islam di Indonesia.
2. Mengetahui
Dinamika Pendidikan Islam dalam konteks pendidikan nasional
D. Metode
Penelitian
Segala sesuatu kegiatan akan menjadi baik jika tujuannya jelas, begitu pula
dengan penelitian kualitatif. Secara mendasar penelitian kualitatif memiliki
dua tujuan, yaitu: (1) menggambarkan dan mengungkan (to describe and
explore), dan (2) menggambarkan dan mengungkapkan (to describe and
explain). Penelitian kualitatif bertujuan mendapatkan pemahaman yang
sifatnya umum terhadap kenyataan sosial dari perspektif partisipan. Pemahaman
tersebut tidak langsung ditentukan, melainkan dilakukan analisis terhadap
kenyataan terlebih dahulu terhadap kenyataan sosial yang menjadi fokus
penelitian.[6]
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan analisis deskriptif.
Deskriptif kualitatif adalah istilah yang digunakan dalam penelitian kualitatif
untuk suatu kajian yang bersifat deskriptif. Jenis penelitian ini umumnya
dipakai dalam fenomenologi sosial. Salah satu penelitian sosial tersebut
berkaitan, dengan penelitian. Secara ringkas dapat dijelaskan bahwa deskriptif
kualitatif adalah suatu metode penelitian yang bergerak pada pendekatan
kualitatif sederhana dengan alur induktif. Alur induktif ini maksudnya
penelitian deskriptif kualitatif diawali
dengan proses atau peristiwa penjelas yang akhirnya dapat ditarik suatu
generalisasi yang merupakan sebuat kesimpulan dari proses atau peristiwa
tersebut.[7]
Deskriptif kualitatif difokuskan untuk menjawab pertanyaan penelitian yang
terkait dengan pertanyaan siapa, apa, dimana dan bagaimana suatu peristiwa atau
pengalaman terjadi hingga akhirnya dikaji secara mendalam untuk menemukan pola
pola yang muncul pada peristiwa tersebut.
Teknik pengumpulan data dilakukan dengan kajian pustaka/ studi literatur
yang berkaitan dengan Pendidikan Islam di Indonesia. Dengan kata lain, istilah
Studi Literatur ini juga sangat terkenal dengan sebutan studi pustaka
menggambarkan fenomena-fenomena yang ada, yang berlangsung saat ini atau saat
yang lampau.[8]
Ada beberapa metode yang dapat dilakukan dalam melakukan Studi Literatur,
seperti mengupas (criticize), membandingkan (compare), meringkas (summarize),
dan mengumpulkan (synthesize) suatu literatur. Dengan demikian, metode yang
digunakan dalam tulisan ini yaitu studi literatur dengan menitikberatkan pada
segi mengupas, meringkas dan mengumpulkan suatu literatur, kemudian diberikan
analisis terhadap data yang telah dikumpulkan. Sumber data diambil dari
beberapa buku dan jurnal yang terbit dalam kurun waktu lima tahun terkahir.
PEMBAHASAN
A. Pendidikan
Islam
Pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara, tokoh pendidikan nasional Indonesia
menyatakan; pendidikan pada umumnya berarti daya upaya untuk memajukan budi
pekerti (kekuatan batin), pikiran (intelek), dan jasmani anak-anak, selaras
dengan alam dan masyarakatnya. Menurut UU No. 20 Tahun 2003, tentang sistem
pendidikan nasional, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara
aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara. Menurut
M.J. Langeveld, pendidikan adalah setiap pergaulan yang terjadi adalah setiap pergaulan
yang terjadi antara orang dewasa dengan anak-anak merupakan lapangan atau suatu
keadaan dimana pekerjaan mendidik itu berlangsung. Pendidikan merupakan salah
satu fungsi yang harus dapat dilakukan dengan sebaikbaiknya oleh keluarga dan
masyarakat secara terpadu dengan berbagai institusi yang memang diadakan dengan
sengaja untuk mengembangkan fungsi pendidikan.[9]
Azyumardi Azra
berpendapat bahwa banyak yang bisa dijual dari Islam, termasuk aspek disiplin,
kerja keras, keadilan, demokrasi, musyawarah, HAM, perdamaian dan semacamnya.
Orang Islam percaya bahwa Islam adalah rahmatan
li al-ālamīn. Oleh karena itu, pendidikan Islam bertujuan menciptakan insān kāmil. Terbinanya kepribadian
muslim atau insān kāmil yang
merupakan ketetapan tujuan pendidikan Islam masih merupakan idea statis, tetapi kualitasnya dinamis
dan berkembang nilai- nilainya. Tujuan pendidikan Islam itu sarat dengan
nilai-nilai fundamental yang memungkinkan terwujudnya kepribadian muslim atau insān kāmil yaitu yang kondisi fisik dan
mentalnya merupakan satu kesatuan secara terpadu. Sehingga dalam penampilan dan
kegiatannya tidak terjadi dikotomi antara jasmani dan rohani, duniawi dan
ukhrawi. Konsep
integralitas keilmuan bertujuan menjadi cerminan insan yang paripurna.[10]
Sedangkan menurut Hamka, untuk membentuk peserta didik yang memiliki
kepribadian paripurna, maka eksistensi pendidikan agama meru- pakan sebuah
kemestian yang harus diajarkan, meskipun pada sekolah- sekolah umum. Namun,
dalam tataran operasional prosesnya tidak hanya dilakukan sebatas mentransfer
ilmu pengetahuan, tetapi jauh lebih penting adalah bagaimana ilmu yang mereka
peroleh mampu membuahkan suatu sikap yang baik sesuai dengan pesan nilai ilmu
yang dimilikinya.[11]
Lebih jelas lagi yang dikemukakan oleh Abudin Nata, Pendidikan merupakan
proses yang amat penting di dalam kehidupan individu dan masyarakat. Pendidikan
diartikan sebagai pendidikan mental, moral dan fisik yang bisa menghasilkan
manusia berbudaya tinggi maka pendidikan menumbuhkan kepribadian serta
menanamkan rasa tanggung jawab dan juga pendidikan itu sangat luas sampai
menyangkut pengalaman. Pendidikan harus memberi manfaat bagi individu sebagai
subjek dan objek pendidikan, bagi masyarakat dengan nilai yang hidup dan
berlaku di dalamnya dan bagi negara sebagai pelaksana dan tanggung jawab
pendidikan.[12]
Dunia muslim dikenal beberapa istilah al-tarbiyyah, al-Ta’lim, al-ta’dib
dan al-riyadah yang digunakan untuk menunjuk pendidikan.[13]
Allah Swt telah memberikan petunjuk kepada manusia agar manusia tetap berjalan
dijalan yang benar. Tarbiyah atau pendidikan pertama yang diajarkan oleh Allah
dalam surat al Fatihah adalah tentang memuji kepada kepada Allah dan bersyukur.
Dalam ayat pertama diterangkan hendaklah seseorang selalu mengingat dan memuji
Asma Allah (Bismillah) adalam hal apapun dan dalam kondisi apapun, dan
mengucapkan basmalah setiapkali mengawali untuk melakukan hal kebaikan.[14]
Term selanjutnya adalah at-ta’lim. Kata Ta’lim تعليم ditinjau dari asal usulnya merupakan bentuk Maṣdardari kata yang kata dasarnya adalah mempunyai yang عِلم
arti mengetahui. Ta’līm dikhususkan terhadap sesuatu yang diulang-ulang dan
diperbanyak sehingga menghasilkan suatu dampak yang diharapkan oleh seorang
Muta’allim (murid). Lafad Ta’lim dalam al Quran mempunyai berbagai macam lafad
dan makna yang berbeda- beda. Abdul Fattah Jalal dalam memberikan pengertian
pendidikan Islam mengatakan bahwa kata-kata tarbiyah tidak tepat untuk
diterapkan, karena sempit jangkauannya dan terlalu khusus sifatnya, menurutnya
lebih tepat mempergunakan istilah ta’lim saja. Sebagimana pendapat beliau dalam
bukunya yang berjudul “azas-azas pendidikan Islam” bahwa Islam memandang proses
ta’lim lebih universal dibanding dengan proses tarbiyah yang mana dalam hal ini beliau merujuk pada
firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 151.[15]
كَمَآ اَرْسَلْنَا فِيْكُمْ رَسُوْلًا مِّنْكُمْ يَتْلُوْا
عَلَيْكُمْ اٰيٰتِنَا وَيُزَكِّيْكُمْ وَيُعَلِّمُكُمُ الْكِتٰبَ وَالْحِكْمَةَ
وَيُعَلِّمُكُمْ مَّا لَمْ تَكُوْنُوْا تَعْلَمُوْنَۗ
“Sebagaimana Kami telah mengutus kepadamu seorang
Rasul (Muhammad) dari (kalangan) kamu yang membacakan ayat-ayat Kami,
menyucikan kamu, dan mengajarkan kepadamu Kitab (Al-Qur'an) dan Hikmah
(Sunnah), serta mengajarkan apa yang belum kamu ketahui.”
Selanjutnya term At-Ta’dib dalam pendidikan Islam. Al-Attas
mengajukan ta’dib untuk mengatasi problema tersebut. Pendidikan dimaknai
sebagai proses penanaman adab (ta’dib). Penanaman adab ini menjadi sangat
fundamental karena ilmu tidak dapat diajarkan kepada orang yang tidak memiliki
adab. Ia mendasarkan kerangka pemikirannya pada ide dan gagasan cendikiawan
Islam di masa lampau.[16]
Pendidikan dalam konteks al-ta’dib sebagai menjamu, melayani, menanamkan atau
mempraktekkan adab kepada seseorang agar berprangai baik dan berdisiplin.
Al-Attas misalnya, mengemukakan term al-ta’dib (penyemaian adab dalam diri
seseorang) sebagai term paling tepat untuk diidentikkan dengan pendidikan.[17]
Berdasarkan definisi diatas, dapat ditarik secara global tentang pendidikan
Islam. Ilmu Pendidikan Islam adalah ilmu Pendidikan yang berdasarkan Islam,
yang berisi seperangkat ajaran tentang kehidupan manusia; ajarkan itu dirumuskan berdasarkan dan bersumber pada
al-Quran dan hadis serta akal. Jika demikian, maka ilmu Pendidikan Islam adalah ilmu Pendidikan yang berdasarkan al-Quran,
hadis dan akal. Penggunaan dasar ini adalah berurutan; Al-Quran lebih dahulu,
jika tidak ada atau tidak jelas dalam al-Quran maka harus dicari dalam hadis;
jika tidak ada dalam hadis barulah menggunakan akal (pemikiran) tapi temuan
akal itu tidak boleh bertentangan dengan jiwa al-Quran dan atau hadis. Oleh
karena itu, teori dalam Pendidikan Islam haruslah dilengkapi dengan ayat-ayat
al-Quran dan atau hadis dan atau argument (akal) yang menjamin teori tersebut.
Jadi pembuatan dan penulisan teori dalam ilmu Pendidikan Islam tidak jauh
berbeda dari pembuatan dan penulisan teori dalam fikih.
Menurut M. Quraish Shihab, Konsep pendidikan Islam yang dihadirkan tidak
bisa lepas dari pedoman yang diturunkan oleh Allah SWT yaitu yang tersirat
dalam Al-Quran dalam Surat Al-Jumu’ah ayat 2.[18]
هُوَ
الَّذِيْ بَعَثَ فِى الْاُمِّيّٖنَ رَسُوْلًا مِّنْهُمْ يَتْلُوْا عَلَيْهِمْ اٰيٰتِهٖ وَيُزَكِّيْهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ
الْكِتٰبَ وَالْحِكْمَةَ وَاِنْ كَانُوْا مِنْ قَبْلُ لَفِيْ ضَلٰلٍ مُّبِيْنٍۙ
“Dialah yang mengutus seorang Rasul kepada
kaum yang buta huruf dari kalangan mereka sendiri, yang membacakan kepada
mereka ayat-ayat-Nya, menyucikan (jiwa) mereka dan mengajarkan kepada mereka
Kitab dan Hikmah (Sunnah), meskipun sebelumnya, mereka benar-benar dalam
kesesatan yang nyata.”
Menurut Abdur Rahman an Nahlawi dalam Azyumardi tentang konsep Tarbiyah
(pendidikan) dalam empat unsur, yaitu:
a.
Memelihara pertumbuhan fitrah manusia,
b.
Mengarahkan perkembangan fitrah manusia menuju
kesempurnaan,
c.
Mengembangkan potensi insani (sumber daya
manusia) untuk mencapai kualitas tertentu, dan
d.
Melaksanakan usaha-usaha tersebut secara
bertahap sesuai dengan iramaperkembangan anak.[19]
Pendidikan
memang bukan sekadar transfer pengetahuan, pembinaan mental jasmani dan intelek
semata, tetapi bagaimana pengetahuan dan pengalaman yang telah didapatkan
dipraktekkan dalam perilaku sehari-hari. Ki Hajar Dewantara dalam hal ini
menyatakan bahwa pendidikan adalah usaha yang dilakukan dengan penuh keinsyafan
yang ditujukan untuk keselamatan dan kebahagiaan manusia. Pendidikan tidak
hanya berfungsi sebagai pelaku pembangunan, tetapi sering merupakan perjuangan
pula. Pendidikan berarti memelihara hidup tumbuh ke arah kemajuan, tidak boleh
melanjutkan keadaan kemarin. Pendidikan adalah usaha kebudayaan, berasas
peradaban, yakni memajukan hidup agar mempertinggi derajat kemanusiaan.[20]
B. Dinamika
Pendidikan Islam dalam Konteks Pendidikan Nasional
Proses
pendidikan merupakan upaya sadar manusia yang tidak pernah ada hentinya. Sebab,
jika manusia berhenti melakukan pendidikan, sulit dibayangkan apa yang akan
terjadi pada sistem peradaban dan budaya manusia. Dengan ilustrasi ini, maka
baik pemerintah maupun masyarakat berupaya untuk melakukan pendidikan dengan
standar kualitas yang diinginkan untuk memberdayakan manusia. “Sistem
pendidikan yang dibangun harus disesuaikan dengan tuntutan zamannya, agar
pendidikan dapat menghasilkan outcome yang relevan dengan tuntutan zaman.[21]
Karel A.
Steenbrink mengungkapkan pada permulaan abad ke-20 Pembaharuan Pendidikan Islam
di Indonesia menjadi salah satu aspek dalam pembaharuan Islam. Perubahan ini
digambarkan seperti kebangkitan, pembaharuan, bahkan pencerahan (renaissance).
Terdapat empat hal yang menjadi pendorong terjadinya pembaharuan, yaitu:
1. Semenjak tahun
1900 muncul keinginan kembali kepada al-Quran dan As-Sunnah yang dijadikan
titik tolak ukur untuk menilai kebiasaan agama dan budaya.
2. Sifat
perlawanan nasional pada penguasa kolonial Belanda.
3. Usaha yang kuat
dari orang-orang Islam untfunk memperkuat organisasinya di bidang sosial
ekonomi, baik kepentingan dirinya maupun kepentingan rakyat.
4. Berasal dari
pembaharuan pendidikan Islam. Banyak orang dan organisasi yang tidak puas
dengan metode tradisional dalam mempelajari Al-Quran dan studi agama, maka
pribadi-pribadi dan organisasi Islam pada permulaan abad ke-20 ini berusaha
mempernbaiki pendidikan Islam, baik dari segi metode maupun isinya. Mereka
mengusahakan kemungkinan memberikan pendidikan umum untuk orang Islam.[22]
Pada saat peralihan kekuasaan di Indonesia, ketika Belanda menyerah kepada
sekutu. Jepang dengan mudah masuk ke wilayah Indonesia. Peristiwa ini terjadi
pada tahun 1942. Kebijakan politik Jepang nampaknya tidak jauh dari skenario
yang dibuat oleh kebijakan sebelumnya, yang dibuat oleh Snouck Hurgronje, yaitu
memisahkan Islam dari politik praktisnya. Jepang mulai menerapkan pengawasan
secara ketat terhadap organisasi-organisasi Islam, terutama pada aspek
pendidikan Islam. Namun, paradok dengan yang pertama, rezim pendudukan Jepang juga
membuka peluang bagi pemimpin-pemimpin Islam terlibat dalam
organisasi-organisasi politis yang diciptakannya. Dalam memobilisasi Islam
Indonesia, pemerintah Jepang menciptakan hubungan yang sangat dekat dengan elit
Muslim.[23]
Keberadaan
sistem pendidikan Islam Indonesia dihadapkan pada berbagai persoalan, antara
lain: pengakuan lulusan yang dihasilkan oleh madrasah sebagai sistem pendidikan
Islam sampai pada persoalan tata kelola madrasah yang terkesan semrawut.
Sementara itu, perkembangan yang terjadi dalam kehidupan sosial, memaksa
madrasah harus tetap eksis tanpa harus mengorbankan nilai-nilai yang telah
dirintis oleh para ulama sebagai pendiri madrasah. Dalam suasana yang demikian
tentu madrasah harus mengubah paradigma sebagai lembaga pendidikan yang “liar”
sebagaimana label tersebut pernah diberikan oleh Pemerintah Kolonial Belanda
menjadi lembaga pendidikan yang mengikuti kebijakan pemerintah Indonesia dalam
meningkatkan mutu pendidikan secara nasional. Karena bagaimanapun juga sistem
pendidikan Islam Indonesia telah menjadi bagian dari Sistem Pendidikan Nasional
dan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia).[24]
Setelah
Indonesia merdeka, umat Islam semakin menyadari pentingnya perjuangan Umat
Islam dalam meraih kemerdekaan, dan pemerintah berusaha melakukan memperbaiki
pendidikan Islam di Indonesia, dan Sebagai realisasinya Pemerintah Indonesia
telah merumuskan dalam undang-undang Republik Indonesia No. 2 Tahun 1989
tentang sistem pendidikan Nasional yang diteruskan dengan UU No. 20 Tahun 2003
yang mengatur penyelenggaraan satu sistem Pendidikan nasional, sebagai upaya
pengintegrasian pendidikan Islam dalam sistem pendidikan Nasional, maka dalam
makalah ini akan membahas tentang Pendidikan Agama Islam dalam sistem
pendidikan Nasional. Pendidikan Islam (pelajaran agama) telah diajarkan di
sekolah-sekolah negeri sejak Indonesia merdeka tahun 1945. Pada masa kabinet RI
pertama tahun 1945, Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan yang pertama
Ki Hajar Dewantara telah mengirimkan surat edaran ke daerah-daerah yang isinya
menyatakan bahwa pelajaran budi pekerti yang telah ada pada masa penjajahan
Jepang tetap diperkenankan dan diganti namanya menjadi pelajaran Agama. Pada
saat tersebut, pendidikan agama belum wajib diberikan pada sekolah-sekolah
umum, namun bersifat sukarela/fakultatif, dan tidak menjadi penentu
kenaikan/kelulusan peserta didik. Pendidikan Islam berstatus mata pelajaran
pokok di sekolah-sekolah umum mulai SD sampai dengan Perguruan Tinggi
berdasarkan TAP MPRS nomor XXVII/MPRS/1966 Bab I Pasal I yang berbunyi:
“Menetapkan pendidikan agama menjadi mata pelajaran di sekolah-sekolah mulai
dari Sekolah Dasar sampai dengan Universitas-Universitas Negeri”. Peraturan ini
keluar dengan tanpa protes, setelah penumpasan PKI.[25]
Setelah
Indonesia merdeka lebih dari setengah abad perjalanan bangsa ini, dirasakan
bahwa pendidikan belum merupakan prioritas utama sehingga akibatnya dirasakan
beberapa kesenjangan dalam kualitas manusia Indonesia. Pada zaman Presiden
Soekarno berkuasa, prioritas utama tampaknya yaasg dipikirkan adalah
masalah-masalah yang berkenaan dengan politik, mulai dari perang fisik dan
diplomasi menghadapi Belanda, kemudian jatuh bangunnya kabinet, pemilihan umum
pertama dan sidang-sidang konstituante yang selalu dead lock, selanjutnya muncul
era konfrontasi dengan Malaysia serta tumbuhnya kekuatan komunis di Indonesia
yang puncaknya melahirkan G-30 S PKI. Di era ini dunia pendidikan belum
terpikirkan secara serius dan sungguhsungguh. Di era pemerintahan orde baru,
pada zaman Presiden Soeharto berkuasa prioritas utama adalah pembangunan
ekonomi, dengan titik tumpunya adalah pertumbuhan ekonomi.[26]Dampak
negatifnya menimbulkan berbagai hal yang berbau KKN, yang mengantarkan bangsa
ini kepada krisis ekonomi dan moneter seperti yang dirasakan saat sekarang ini.
Pada saat
reformasi digulirkan, masyarakat Indonesia ingin mewujudkan perubahan dalam
semua aspek kehidupannya, termasuk sektor pendidikan. Sebab, sektor pendidikan
memiliki peran yang strategis dan fungsional dalam upaya mewujudkan perubahan tersebut.
Tetapi, kata Tilaar, pendidikan di Indonesia selama ini diatur dengan sistem
pendidikan nasional yang sangat erat kaitannya dengan kehidupan politik bangsa.
Akibatnya, menghasilkan manusia-manusia Indonesia tertekan, tidak kritis,
bertindak dan berpikir dalam acuan suatu struktur kekuasaan yang hanya mengabdi
kepada kepentingan kelompok kecil rakyat Indonesia.[27]
Jika kembali
kepada sejarah perkembangan pendidikan Islam di Indonesia, terutama dalam
konteks mengintegrasikan pendidikan dalam sistem pendidikan nasional, Surat
Keputusan Bersama (SKB) Tiga menteri merupakan regulasi yang bisa merintis
penguatan posisi pendidikan Islam secara nasional. Surat Keputusan Bersama tiga
menteri tersebut ditandatanganioleh tiga orang menteri, yaitu Menteri Agama,
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, serta Menteri Dalam Negeri. Nomor 6 Tahun
1975, Nomor 037/ U/ 1975, dan Nomor 36 Tahun 1975 tentang Peningkatan Mutu
Pendidikan Pada Madrasah. SKB tiga Menteri ini ditandatangani di Jakarta oleh 3
orang menteri, yaitu: Dr. H. A. Mukti Ali (Menteri Agama), Dr. Syarief Thajeb
(Menteri Pendidikan dan Kebudayaan), dan H. Amir Machmud (Menteri Dalam Negeri)
pada tanggal 24 Maret 1975.[28]
Surat Keputusan
Bersama (SKB) tersebut berlaku untuk madrasah dan semua jenjang baik negeri
maupun swasta, baik madrasah dalam lingkungan pondok pesantren maupun di luar
pondok. SKB tersebut bertujuan untuk meningkatkan mutu pendidikan madrasah agar
sejajar dengan sekolah umum. Kesejajaran tersebut meliputi: (1). Ijazah
madrasah dapat mempunyai nilai yang sama dengan ijazah sekolah umum; (2).
Lulusan madrasah dapat melanjutkan ke sekolah umum setingkat lebih tinggi. (3).
Siswa madrasah dapat pindah ke sekolah umum yang sama tingkatannya. Hal
tersebut ditegaskan lagi dengan merinci bagian-bagian yang menunjukkan
kesetaraan madrasah dengan sekolah. Dalam Bab I pasal 1, ayat 2 misalnya
dinyatakan: Madrasah itu meliputi tiga tingkatan: (1) Madrasah Ibtidaiyah, setingkat
dengan Sekolah Dasar; (2) Madrasah Tsanawiyah, setingkat dengan Sekolah
Menengah Pertama; (3) Madrasah Aliyah, setingkat dengan Sekolah Menengah
Atas.10 Selanjutnya dalam Bab II pasal 2 ayat a, b, dan c disebutkan bahwa:
Ayat a: Ijazah
madrasah dapat mempunyai nilai yang sama dengan ijazah sekolah Umum yang
setingkat.
Ayat b: Lulusan
madrasah dapat melanjutkan kesekolah umum setingkat lebih atas.
Ayat c: Siswa
madrasah dapat berpindah kesekolah umum yang setingkat.11
Mengenai
pengelolaan dan pembinaan dinyatakan dalam Bab IV pasal 4 sebagai berikut: (1)
Pengelolaan madrasah dilakukan oleh Menteri Agama. (2) Pembinaan mata pelajaran
agama pada madrasah dilakukan oleh Menteri Agama. (3) Pembinaan dan pengawasan
mutu mata pelajaran umum pada madrasah dilakukan oleh Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan, bersama-sama dengan Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri.
SKB Tiga
Menteri ini dapat dipandang sebagai pengakuan yang lebih nyata terhadap
eksistensi madrasah dan sekaligus merupakan langkah strategis menuju tahapan
integrasi madrasah ke dalam Sistem Pendidikan Nasional yang tuntas. Dengan SKB
tersebut madrasah memperoleh definisinya yang semakin jelas sebagai lembaga
pendidikan yang setara dengan sekolah sekalipun pengelolaannya tetap berada
pada Departemen Agama.
Dalam hal ini, madrasah tidak lagi hanya
dipandang sebagai lembaga pendidikan keagamaan atau lembaga penyelenggara
kewajiban belajar, tetapi sudah merupakan lembaga pendidikan yang menjadikan
mata pelajaran agama Islam sebagai mata pelajaran dasar yang sekurang-
kurangnya 30%, di samping mata pelajaran umum. Namun oleh Menteri Agama pada
saat itu, Mukti Ali, dijelaskan dalam prakteknya kedua mata pelajaran tersebut
dapat saling mengisi, sehingga sama-sama 100%.[29]
Berdasarkan
penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa SKB tiga menteri merupakan puncak
usaha pemerintah dalam mengatasi ketimpangan antara sekolah-sekolah agama
(madrasah) dengan sekolah-sekolah umum untuk menuju ke kesatuan sistem
pendidikan nasional. Dengan SKB ini telah tercapai integrasi antara pendidikan
agama dan pendidikan umum ke dalam sistem pendidikan nasional. Dengan demikian,
berarti bahwa pendidikan Islam tidak dapat dipisahkan dengan pendidikan
nasional. Pendidikan Islam telah menjadi bagian integral yang tak terpisahkan
dari pendidikan nasional. Secara tidak langsung, implikasi kebijakan ini
memberi peluang bagi lulusan madrasah untuk melakukan mobilitas sosial dan
vertikal yang selama ini terbatas pada lembaga- lembaga pendidikan tradisional
seperti pesantren dan madrasah. Disisi lain hal ini membuka peluang kemungkinan
lulusan madrasah untuk memasuki wilayah pekerjaan pada sektor modern.[30]
Indonesia
beberapa kali mengalami perbaikan kurikulum, diantaranya kurikulum 1994 yang
pada gilirannya diganti dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi tahun 2004.
Penerapan KBK pun disekolah tidak bertahan lama karena dua tahun kemudian,
tepatnya 2006 pemerintah Indonesia meluncurkan kurikulum baru yaitu Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) sebagai penyempurna dari kurikulum sebelumnya.
Perlu dipahami pula, perubahan kurikulum dari masa ke masa menyangkut perubahan
struktural dan perubahan konsepsional dan kini juga akan dikenalkan dengan
kurikulum baru yaitu kurikulum 2013. Menurut Mohammad Nuh sebagai menteri
pendidikan bahwa kurikulum 2013 dirancang sebagai upaya mempersiapkan generasi
2045 yaitu tepatnya 100 tahun Indonesia merdeka, sekaligus memanfaatkan
populasi usia produktif yang jumlahnya sangat melimpah agar menjadi bonus
demografi dan tidak menjadi bencana demografi.[31]
Namun dalam konteks hari ini belum menyentuh pada aspek religiusitas.
Sebagaimana
kita ketahui bersama bahwa dalam wahyu pertama QS. Al-Alaq ayat 1-5 disebutkan,
اِقْرَأْ بِاسْمِ
رَبِّكَ الَّذِيْ خَلَقَۚ خَلَقَ الْاِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍۚ قْرَأْ وَرَبُّكَ
الْاَكْرَمُۙ الَّذِيْ عَلَّمَ بِالْقَلَمِۙ عَلَّمَ الْاِنْسَانَ مَا لَمْ
يَعْلَمْۗ
Ayat tersebut
menunjukkan tentang contoh hakikat,
mulai dari hakikat
Tuhan serta hakikat
manusia. Dalam dunia
pendidikan, tidak dapat dilepaskan
dari aspek ontologi
sebagai kajian realitas,
hal ini karena
sangatlah penting bahwa proses
pendidikan didasarkan atas
fakta dan realitas
bukan berdasarkan ilusi,
khayalan. Sejalan dengan hal tersebut,
ajaran agama Islam menuntut untuk selalu jujur dalam setiap aspek
kehidupan, hal ini
sudah di contohkan
Nabi Muhammad SAW
yang senantiasa jujur dalam kehidupannya. Oleh karena itu pendidikan
Islam juga wajib bersifat jujur
dalam mengajarkan hal
yang bersifat fakta,
ketika menjelaskan ajaran
agama dan ketuhanan serta
diimplementasikan dalam kehidupan
sehari-hari dan mengambil contoh dari apa yang telah
diciptakan oleh Allah SWT untuk membuktikan bahwa Allah itu ada dan
Esa (satu).[32]
Konsep yang disebutkan sejalan dengan kurikulum 2013 yang mengedepankan
pendekatan saintifik dalam proses pembelajaran. Adapun Kurikulum 2013
mengembangkan dua modus proses pembelajaran yaitu proses pembelajaran langsung
dan proses pembelajaran tidak langsung. Proses pembelajaran langsung adalah
proses pendidikan di mana peserta didik mengembangkan pengetahuan, kemampuan
berpikir dan keterampilan psikomotorik melalui interaksi langsung dengan sumber
belajar yang dirancang dalam silabus dan RPP berupa kegiatan-kegiatan
pembelajaran.[33]
Pada era
sekarang ini dalam Undang-Undang Sisdiknas ialah konsep kesetaraan, antara
satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah dan satuan pendidikan
yang diselenggarakan oleh masyarakat. Tidak ada lagi istilah satuan pendidikan
“plat merah” (pemerintah) atau “plat kuning” (swasta). Semuanya berhak
memperoleh dana dari negara, dalam satu sistem yang terpadu. Demikian juga
adanya kesetaraan antara satuan pendidikan yang dikelola oleh Depertemen
Pendidikan Nasional dengan satuan pendidikan yang dikelola oleh Kementerian
Agama dengan ciri khas tertentu. Itulah sebabnya dalam semua jenjang pendidikan
disebutkan mengenai nama pendidikan yang diselenggarakan oleh Kementerian Agama
(madrasah dst). Dengan demikian Undang-Undang Sisdiknas telah menempatkan
pendidikan sebagai satu kesatuan yang sistematik (pasal 4 ayat 2).[34]
Dengan demikian
secara berangsur-angsur madrasah dan sekolah Islam (termasuk Madrasah Aliyah)
diintegrasikan ke dalam Sistem Pendidikan Nasional. Puncaknya adalah lahirnya
kebijakan Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) Nomor 2
tahun 1989 yang memperkuat SKB tersebut. Bahkan dalam kebijakan UUSPN tersebut
secara tegas disebutkan bahwa madrasah (termasuk MA/sekolah Islam) adalah
sekolah umum yang berciri khas agama Islam. Kemudian diperkuat oleh
Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional No 20 Tahun 2003.
C. Simpulan
Sejatinya pendidikan Islam merupakan
salah satu bentuk upaya dalam membentuk manusia yang sempurna berlandaskan
pedoman Al-Quran dan As-sunnah serta diejawantahkan dengan adanya Undang-Undang
yang mengatur pola pendidikan sehingga dapat terukur dan terarah sesuai dengan
kebutuhan. Begitu pun Pendidikan Islam di Indonesia telah mengalami berbagai
perjalanan panjang yang terus diuji oleh zaman hingga akhirnya pendidikan Islam
mendapat pengakuan secara nasional. Dalam perjalanannya pendidikan Islam
mengalami berbagai macam hambatan dan kendala baik secara internal maupun
eksternal yang dihadapinya. Pengalaman yang dimiliki oleh pendidikan Islam
sudah menjadi modal penting dalam menjawab berbagai tantangan tersebut. oleh
karena itu, perlu upaya penguatan terhadap posisi pendidikan Islam dalam sistem
pendidikan nasional. Penguatan tersebut meliputi lembaga dan SDM pendidikan
Islam itu sendiri, baik secara kualitas maupun kuantitas. Sehingga pendidikan
Islam dapat terasakan secara nasional hasil dari pendidikan yang berdampak
untuk umat.
DAFTAR PUSTAKA
A.Steenbrink, Karel. (2000)Pesantren,
Madrasah, Sekolah, Pendidikan Islam dalam Kurun Moderen. (Jakarta: LP3ES,
Cet-2, 1994)
Anggito, Albi.
Johan Setiawan, “Metode Penelitian Kualitatif” (Sukabumi:CV.
Jejak) 2018.
Azra, Azyumardi, Islam Subtantif: Agar Umat Tidak Jadi Buih, (Bandung: Mizan,
Cet-1, 2004)
Dewantara, Ki Hajar, Bagian Pertama Pendidikan, (Yogyakarta:
Majlis Luhur Persatuan Taman Siswa, 1962)
Fitriani, “Problematika Pendidikan Islam sebagai Sub Sistem
Pendidikan Nasional di Era Global.” Jurnal at-Tahrir, Vol. 11 No. 2,
(2011), 305
Hamka, Lembaga Hidup, (Jakarta:
Djajamurni, 1962)
Huda, Miftahul. “Perkembangan Pendidikan Islam di Indonesia dan Upaya
Penguatannya Dalam Sistem Pendidikan Nasional”. Journal of Islamic
Education Research, Vol.1 No.02 (2020)
Idris, Muh.“Pembaruan Pendidikan Dalam
Konteks Pendidikan Nasional”, Lentera Pendidikan
(Juni 2009), Vol. 12 No. 1.
Inayatulloh, Siti. “Menimbang Penerapan
Pendidikan Islam Dalam Sistem Pendidikan Nasional”, An-Nidhom (Jurnal
Manajemen Pendidikan Islam), Vol.1 No.2 (2016)
Iqbal, Muh.“Wahyu Pertama Al-Quran Sebagai
Pondasi Metafisika Pendidikan Islam”. Edusoshum: Journal Of Islamic
Education and Social Humanities. (April 2020) Vol.1 No. 1
Karman, “Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan”(Bandung:Remaja
Rosda Karya) Cet.1 2018
Kholis, Nur.“Paradigma Pendidikan Islam
Dalam Undang-Undang Sisdiknas 2003”, Jurnal Kependidikan (Mei, 2014) Vol.II
No. 1
Mas’udah, Lailatul .“Makna Lafadz Tarbiyah
Dengan Term Lain Yang Identik Dalam Al-Quran”, JALIE : Journal of Applied Linguistics And
Islamic Education. (Maret 2018) Vol.02, Nomor 01
Nata. Abuddin. Ilmu Pendidikan Islam. (Jakarta:
Prenadamedia Grup.)2017
Nata, Abuddin.”Kapita Selekta Pendidikan Islam:
Isu-Isu Kontemporer Tentang Pendidikan Islam”. Cet. Ke-1. (Jakarta: Rajawali Pers, 2012)
Rasyidin, dan Samsul Nizar, Al .”Filsafat
Pendidikan Islam: Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis” Cet. Ke-2,
(Jakarta: Ciputat Press, 2005.)
Rohman, Miftahul.“Konsep Tujuan Pendidikan
Islam Perspektif Nilai-Nilai Sosial”. Al-Tadzkiyyah: Jurnal Pendidikan
Islam. (2018)Vol.9, No. I
Soprayani. “Madrasah dan Pemberdayaan Peran Masyarakat”. Jurnal
Darussalam, Vol. 11, No.2, 2010, 130.
Suhandi, “Konsep Pendidikan (al-Ta’dib)
untuk membentuk Kepemimpinan Menurut Al-Attas” Kalimah: Jurnal Studi
Agama-Agama dan Pemikiran Islam. (September 2020)Vol.18 No. 2
Sulaiman, Moh. “Emotional Spiritual Quotient (ESQ)Dalam Pembelajaran
Pendidikan Agama Islam Kurikulum 2013”. Jurnal Penelitian Pendidikan.
(2018) Vol. 6, No.1
Surani, Dewi.“Studi Literatur : Peran Teknologi Pendidikan Dalam
Pendidikan 4.0”, Prosiding Seminar Nasional Pendidikan FKIP (2019), Vol. 2,
No.1
Suwendi, Sejarah dan Pemikiran Pendidikan
Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada) Cet-1, 2004)
Suyanto, Dinamika Pendidikan Nasional (Dalam
Percaturan Dunia Globa),PSAP Muhammadiyah, Jakarta. 2006
Tilaar, H.A.R., , Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional
Dalam Perspektif Abad 21, Tera Indonesia, Magelang. 1998
Yuliani, Wiwin.”Metode Penelitian
Deskriptif Kualitatif dalam perserktif Bimbingan dan kKonseling”, Jurnal
Quanta (Mei,2018) Vol.2 No.2
Zain, Ahmad. ”Dinamika Pendidikan Islam”, (Jakarta:PTIQ
Press, 2019)
[1] Abuddin
Nata, Kapita Selekta Pendidikan
Islam: Isu-Isu Kontemporer Tentang Pendidikan Islam. Cet. Ke-1. (Jakarta:
Rajawali Pers, 2012), 119-120)
[2] Al
Rasyidin, dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam: Pendekatan Historis,
Teoritis dan Praktis. Cet. Ke-2, (Jakarta: Ciputat Press, 2005.), 22).
[3] Ahmad Zain,”Dinamika Pendidikan Islam”, (Jakarta:PTIQ Press,
2019)h.2
[4] Nur Kholis, “Paradigma Pendidikan Islam Dalam Undang-Undang Sisdiknas
2003”, Jurnal Kependidikan (Mei, 2014) Vol.II No. 1
[5] Muh. Idris, “Pembaruan Pendidikan Dalam Konteks Pendidikan Nasional”, Lentera
Pendidikan (Juni 2009), Vol. 12 No. 1.
[6] Albi Anggito, Johan Setiawan, “Metode Penelitian Kualitatif”
(Sukabumi:CV. Jejak) 2018., h. 14-16
[7] Wiwin Yuliani, “”Metode Penelitian Deskriptif Kualitatif dalam
perserktif Bimbingan dan kKonseling”, Jurnal Quanta (Mei,2018) Vol.2 No.2
[8] Dewi Surani, “Studi Literatur : Peran Teknologi Pendidikan Dalam
Pendidikan 4.0”, Prosiding Seminar Nasional Pendidikan FKIP (2019), Vol. 2,
No.1 h. 456-469
[9] Nur Kholis, “Paradigma Pendidikan Islam Dalam Undang-Undang Sisdiknas
2003”, Jurnal Kependidikan (Mei, 2014) Vol.II No. 1
[10] Azyumardi Azra, Islam Subtantif: Agar Umat Tidak Jadi
Buih, Bandung: Mizan, 2000, h. 132.
[11]
Hamka, Lembaga Hidup, Jakarta:
Djajamurni, 1962, h. 204.
[12] Abudin Nata. Ilmu Pendidikan Islam. (Jakarta:
Prenadamedia Grup.)2017
[13] Karman, “Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan”(Bandung:Remaja Rosda Karya)
Cet.1 2018, h. 73
[14] Lailatul Mas’udah, “Makna Lafadz Tarbiyah Dengan Term Lain Yang Identik
Dalam Al-Quran”, JALIE : Journal of
Applied Linguistics And Islamic Education. (Maret 2018) Vol.02, Nomor 01
[15] Lailatul Mas’udah. Vol 02, Nomor 01
[16] Suhandi, “Konsep Pendidikan (al-Ta’dib) untuk membentuk Kepemimpinan
Menurut Al-Attas” Kalimah: Jurnal Studi Agama-Agama dan Pemikiran Islam.
(September 2020)Vol.18 No. 2
[17] Karman, “Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan”(Bandung:Remaja Rosda Karya) Cet.1
2018, h.82
[18] Miftahul Rohman, “Konsep Tujuan Pendidikan Islam Perspektif Nilai-Nilai
Sosial”. Al-Tadzkiyyah: Jurnal Pendidikan Islam. (2018)Vol.9, No. I
[19] Nur Kholis, “Paradigma Pendidikan Islam Dalam Undang-Undang Sisdiknas
2003”, Jurnal Kependidikan (Mei, 2014) Vol.II No. 1
[20] Ki Hajar
Dewantara, Bagian Pertama Pendidikan,
Yogyakarta: Majlis Luhur Persatuan Taman Siswa, 1962, h. 19
[21] Suyanto, Dinamika
Pendidikan Nasional (Dalam Percaturan Dunia Globa),PSAP
Muhammadiyah, Jakarta. 2006, h. 11
[22] Karel A. Steenbrink, Pesantren, Madrasah, Sekolah, Pendidikan Islam
dalam Kurun Moderen. (Jakarta: LP3ES, Cet-2, 1994) h.26-28
[23] Suwendi, Sejarah dan Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, Cet-1, 2004) h.85-90
[24] Fitriani, “Problematika
Pendidikan Islam sebagai Sub Sistem Pendidikan Nasional di Era Global.”
Jurnal at-Tahrir, Vol. 11 No. 2, (2011), 305
[25] Miftahul Huda, “Perkembangan Pendidikan Islam di Indonesia dan Upaya
Penguatannya Dalam Sistem Pendidikan Nasional”. Journal of Islamic Education
Research, Vol.1 No.02 (2020)
[26] Ahmad Zain,”Dinamika Pendidikan Islam”, (Jakarta:PTIQ Press,
2019)h.4
[27] Tilaar,
H.A.R., , Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional Dalam Perspektif
Abad 21, Tera Indonesia, Magelang. 1998, h.25
[28] Siti Inayatulloh, “Menimbang Penerapan Pendidikan Islam Dalam Sistem
Pendidikan Nasional”, An-Nidhom (Jurnal Manajemen Pendidikan Islam), Vol.1
No.2 (2016)
[29] Soprayani. “Madrasah
dan Pemberdayaan Peran Masyarakat”. Jurnal Darussalam, Vol. 11,
No.2, 2010, 130.
[30] Miftahul Huda, “Perkembangan Pendidikan Islam di Indonesia dan Upaya
Penguatannya Dalam Sistem Pendidikan Nasional”. Journal of Islamic
Education Research, Vol.1 No.02 (2020)
[31] Siti Inayatulloh, “Menimbang Penerapan Pendidikan Islam Dalam Sistem
Pendidikan Nasional”, An-Nidhom (Jurnal Manajemen Pendidikan Islam), Vol.1
No.2 (2016)
[32] Muh Iqbal, “Wahyu Pertama Al-Quran
Sebagai Pondasi Metafisika Pendidikan Islam”. Edusoshum: Journal Of Islamic
Education and Social Humanities. (April 2020) Vol.1 No. 1
[33] Moh. Sulaiman, “Emotional Spiritual
Quotient (ESQ)Dalam Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Kurikulum 2013”.
Jurnal Penelitian Pendidikan. (2018) Vol. 6, No.1
[34] Nur Kholis, “Paradigma Pendidikan Islam Dalam Undang-Undang Sisdiknas
2003”, Jurnal Kependidikan (Mei, 2014) Vol.II No. 1
Toyyib... Semoga selalu menjadi salah satu media penyebar kebenaran
BalasHapus