PENDIDIKAN ISLAM DALAM KONTEKS PENDIDIKAN INDONESIA

 


       Oleh : Rizal Rahmatullah
( Bidang Jam'iyyah PC. Pemuda Persis Baleendah)




Abstrak

Pendidikan Islam merupakan aspek yang sangat penting dalam berkehidupan berbangsa dan bernegara. Pendidikan menjadi bekal yang efektif dalam kehidupan sehari-hari yang baik yang diatur oleh agama maupun negara. Pendidikan diharapkan mampu menciptakan generasi yang mampu meneruskan cita-cita bangsa dan agama sehingga mampu bersaing dengan bangsa yang lain. Pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar mengajar agar peserta didik secara aktif dapat mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuata spiritual keilmuan, pengendalian diri, kepribadian,kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan lain yang diperlukan oleh dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif dengan analisis deskriptif. Hasil dari penelitian ini yaitu, pendidikan Islam di Indonesia mengalami berbagai hambatan dan tantangan, baik dari intern maupun ekstern. Dengan hadirnya SKB dan UUSPN 2003 membawa angin segar dan menjadi regulasi terhadap ketetapan dan kejelasan Pendidikan Islam di Indonesia.

 

Kata Kunci : Pendidikan, Islam, Indonesia.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

A.    Pendahuluan

            Pendidikan menempati posisi istimewa dalam Islam. Hal ini terlihat sejak awal kelahirannya, Islam telah memberikan perhatian yang besar terhadap masalah pendidikan. Dalam pandangan Islam, pendidikan merupakan usaha yang paling strategis untuk mengangkat harkat dan martabat manusia sebagai makhluk yang mulia dibandingkan makhluk lain. Melalui pendidikan, berbagai potensi yang dimiliki manusia, yakni potensi basyariyah, insāniyah dan an-nās yang dimiliki manusia dapat diberdayakan secara optimal sehingga ia dapat melaksanakan fungsinya sebagai khalifah di muka bumi dalam rangka memaksimalkan ibadah kepada Allah Swt.[1] Pendidikan Islam dijadikan sebagai sarana yang kondusif bagi proses transformasi ilmu pengetahuan dan budaya Islami dari satu generasi kepada generasi berikutnya.[2]

Persoalan pendidikan Islam di Indonesia kita lihat salah satu dari rumusan tujuan negara Republik Indonesia yang dicantumkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 adalah mencerdaskan kehidupan bangsa, karena itu negara sangat bertanggung jawab terhadap terlaksananya upaya mencerdaskan kehidupan bangsa tersebut. Berbagai upaya telah dirintis sejak awal Indonesia merdeka. Upaya pertama, dibentuklah Kementerian Pendidikan dan Pengajaran, seterusnya pada tahun 1946 membentuk Panitia Penyelidik Pendidikan dan Pengajaran, dan pada tahun 1947 mengadakan Kongres Pendidikan pertama di Solo, tahun 1947 Kongres Pendidikan kedua di Yogyakarta, dan pada tahun 1950 lahirlah Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1950 dengan nama Undang-Undang tentang Dasar Pendidikan dan Pengajaran (UUPP), tahun 1954 lahirlah Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1954 tentang pernyataan berlakunya UU No. 4 Tahun 1950, tahun 1961 lahir UU No. 22 Tahun 1961 tentang Pendidikan Tinggi, dan barulah pada tahun 1989 lahir Undang-Undang No. 2 Tahun 1989 Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional yang kemudian diiringi dengan seperangkat Peraturan Pemerintah tentang itu, dan tahun 2003 lahirlah Undangundang No. 20 Tahun 2003.[3]

Usaha untuk menjadikan pendidikan Islam sebagai salah satu bentuk penyadaran secara religi sudah dilakukan semenjak Indonesia merdeka. Seiring berjalannya waktu, tujuan yang mulia itu ternyata tidak sebanding dengan apa yang terjadi di lapangan. Berbagai masalah muncul seiring bergantinya pemangku kebijakan dan bergantinya zaman yang mengakibatkan proses pemenuhan penyadaran tersebut banyak kendala.

Hasil yang diharapkan dan yang dinantikan oleh seluruh rakyat di penjuru pelosok tanah air, tak kunjung tiba, namun hasil-hasil negatif yang sering menjelma. Kehidupan beragama makin lama makin menipis dalam masyarakat, terutama di kalangan kaum terpelajar dan kaum intelegensia. Bahkan banyak yang meremehkan dan kadang-kadang menentang kehidupan berbangsa dan bernegara. Pada tahun 1998 tepatnya pada bula Mei terjadilah gerakan yang dipelopori gerakan mahasiswa yang mengatasnamakan reformasi, yang kemudian lengserlah kekuatan Orde Baru. Salah satu tuntutan gerakan reformasi adalah diadakannya reformasi di segala bidang termasuk di bidang pendidikan.[4]

Sistem pendidikan nasional yang telah dibangun selama tiga dasa- warsa terakhir ini ternyata belum mampu sepenuhnya menjawab kebutuhan dan tantangan nasional dan global dewasa ini. Program pemerataan dan peningkatan kualitas pendidikan yang selama ini merupakan fokus pembinaan masih menjadi masalah yang paling menonjol dalam dunia pendidikan.[5] Begitupun pendidikan Islam yang dipandang sebagai pijakan penting dalam memberikan sumbangsih kehidupan berbangsa dan bernegara. Atas dasar problematika yang terjadi diatas menjadi latar belakang penulisan makalah ini dibuat dengan judul Pendidikan Islam Dalam Konteks Pendidikan Nasional.

 

B.     Rumusan Masalah

            Rangkaian aktivitas dilakukan sebagai ikhtiar untuk mengembangkan dan memajukan bangsa. Terlebih pendidikan Islam yang menjadi ruh dalam pergerakan baik berbangsa dan bernegara. Berdasarkan latar belakang diatas, ditarik beberapa rumusan masalah yang akan menjadi kajian pada penelitian ini, diantaranya :

1.      Bagaimana konsep pendidikan Islam di indonesia ?

2.      Bagaimana Dinamika Pendidikan Islam dalam konteks pendidikan nasional ?

 

C.    Tujuan Penulisan

Berdasarkan rumusan masalah diatas, penulis mempunyai tujuan dalam membuat makalah ini, diantaranya adalah :

1.      Mengetahui pendidikan Islam di Indonesia.

2.      Mengetahui Dinamika Pendidikan Islam dalam konteks pendidikan nasional

 

D.    Metode Penelitian

Segala sesuatu kegiatan akan menjadi baik jika tujuannya jelas, begitu pula dengan penelitian kualitatif. Secara mendasar penelitian kualitatif memiliki dua tujuan, yaitu: (1) menggambarkan dan mengungkan (to describe and explore), dan (2) menggambarkan dan mengungkapkan (to describe and explain). Penelitian kualitatif bertujuan mendapatkan pemahaman yang sifatnya umum terhadap kenyataan sosial dari perspektif partisipan. Pemahaman tersebut tidak langsung ditentukan, melainkan dilakukan analisis terhadap kenyataan terlebih dahulu terhadap kenyataan sosial yang menjadi fokus penelitian.[6]

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan analisis deskriptif. Deskriptif kualitatif adalah istilah yang digunakan dalam penelitian kualitatif untuk suatu kajian yang bersifat deskriptif. Jenis penelitian ini umumnya dipakai dalam fenomenologi sosial. Salah satu penelitian sosial tersebut berkaitan, dengan penelitian. Secara ringkas dapat dijelaskan bahwa deskriptif kualitatif adalah suatu metode penelitian yang bergerak pada pendekatan kualitatif sederhana dengan alur induktif. Alur induktif ini maksudnya penelitian deskriptif kualitatif  diawali dengan proses atau peristiwa penjelas yang akhirnya dapat ditarik suatu generalisasi yang merupakan sebuat kesimpulan dari proses atau peristiwa tersebut.[7] Deskriptif kualitatif difokuskan untuk menjawab pertanyaan penelitian yang terkait dengan pertanyaan siapa, apa, dimana dan bagaimana suatu peristiwa atau pengalaman terjadi hingga akhirnya dikaji secara mendalam untuk menemukan pola pola yang muncul pada peristiwa tersebut.

Teknik pengumpulan data dilakukan dengan kajian pustaka/ studi literatur yang berkaitan dengan Pendidikan Islam di Indonesia. Dengan kata lain, istilah Studi Literatur ini juga sangat terkenal dengan sebutan studi pustaka menggambarkan fenomena-fenomena yang ada, yang berlangsung saat ini atau saat yang lampau.[8] Ada beberapa metode yang dapat dilakukan dalam melakukan Studi Literatur, seperti mengupas (criticize), membandingkan (compare), meringkas (summarize), dan mengumpulkan (synthesize) suatu literatur. Dengan demikian, metode yang digunakan dalam tulisan ini yaitu studi literatur dengan menitikberatkan pada segi mengupas, meringkas dan mengumpulkan suatu literatur, kemudian diberikan analisis terhadap data yang telah dikumpulkan. Sumber data diambil dari beberapa buku dan jurnal yang terbit dalam kurun waktu lima tahun terkahir.

       PEMBAHASAN

A.    Pendidikan Islam

Pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara, tokoh pendidikan nasional Indonesia menyatakan; pendidikan pada umumnya berarti daya upaya untuk memajukan budi pekerti (kekuatan batin), pikiran (intelek), dan jasmani anak-anak, selaras dengan alam dan masyarakatnya. Menurut UU No. 20 Tahun 2003, tentang sistem pendidikan nasional, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara. Menurut M.J. Langeveld, pendidikan adalah setiap pergaulan yang terjadi adalah setiap pergaulan yang terjadi antara orang dewasa dengan anak-anak merupakan lapangan atau suatu keadaan dimana pekerjaan mendidik itu berlangsung. Pendidikan merupakan salah satu fungsi yang harus dapat dilakukan dengan sebaikbaiknya oleh keluarga dan masyarakat secara terpadu dengan berbagai institusi yang memang diadakan dengan sengaja untuk mengembangkan fungsi pendidikan.[9]

Azyumardi Azra berpendapat bahwa banyak yang bisa dijual dari Islam, termasuk aspek disiplin, kerja keras, keadilan, demokrasi, musyawarah, HAM, perdamaian dan semacamnya. Orang Islam percaya bahwa Islam adalah rahmatan li al-ālamīn. Oleh karena itu, pendidikan Islam bertujuan menciptakan insān kāmil. Terbinanya kepribadian muslim atau insān kāmil yang merupakan ketetapan tujuan pendidikan Islam masih merupakan idea statis, tetapi kualitasnya dinamis dan berkembang nilai- nilainya. Tujuan pendidikan Islam itu sarat dengan nilai-nilai fundamental yang memungkinkan terwujudnya kepribadian muslim atau insān kāmil yaitu yang kondisi fisik dan mentalnya merupakan satu kesatuan secara terpadu. Sehingga dalam penampilan dan kegiatannya tidak terjadi dikotomi antara jasmani dan rohani, duniawi dan ukhrawi. Konsep integralitas keilmuan bertujuan menjadi cerminan insan yang paripurna.[10]

Sedangkan menurut Hamka, untuk membentuk peserta didik yang memiliki kepribadian paripurna, maka eksistensi pendidikan agama meru- pakan sebuah kemestian yang harus diajarkan, meskipun pada sekolah- sekolah umum. Namun, dalam tataran operasional prosesnya tidak hanya dilakukan sebatas mentransfer ilmu pengetahuan, tetapi jauh lebih penting adalah bagaimana ilmu yang mereka peroleh mampu membuahkan suatu sikap yang baik sesuai dengan pesan nilai ilmu yang dimilikinya.[11]

Lebih jelas lagi yang dikemukakan oleh Abudin Nata, Pendidikan merupakan proses yang amat penting di dalam kehidupan individu dan masyarakat. Pendidikan diartikan sebagai pendidikan mental, moral dan fisik yang bisa menghasilkan manusia berbudaya tinggi maka pendidikan menumbuhkan kepribadian serta menanamkan rasa tanggung jawab dan juga pendidikan itu sangat luas sampai menyangkut pengalaman. Pendidikan harus memberi manfaat bagi individu sebagai subjek dan objek pendidikan, bagi masyarakat dengan nilai yang hidup dan berlaku di dalamnya dan bagi negara sebagai pelaksana dan tanggung jawab pendidikan.[12]

Dunia muslim dikenal beberapa istilah al-tarbiyyah, al-Ta’lim, al-ta’dib dan al-riyadah yang digunakan untuk menunjuk pendidikan.[13] Allah Swt telah memberikan petunjuk kepada manusia agar manusia tetap berjalan dijalan yang benar. Tarbiyah atau pendidikan pertama yang diajarkan oleh Allah dalam surat al Fatihah adalah tentang memuji kepada kepada Allah dan bersyukur. Dalam ayat pertama diterangkan hendaklah seseorang selalu mengingat dan memuji Asma Allah (Bismillah) adalam hal apapun dan dalam kondisi apapun, dan mengucapkan basmalah setiapkali mengawali untuk melakukan hal kebaikan.[14]

Term selanjutnya adalah at-ta’lim. Kata Ta’lim تعليم ditinjau dari asal usulnya merupakan bentuk Maṣdardari kata yang kata dasarnya adalah  mempunyai yang عِلم arti mengetahui. Ta’līm dikhususkan terhadap sesuatu yang diulang-ulang dan diperbanyak sehingga menghasilkan suatu dampak yang diharapkan oleh seorang Muta’allim (murid). Lafad Ta’lim dalam al Quran mempunyai berbagai macam lafad dan makna yang berbeda- beda. Abdul Fattah Jalal dalam memberikan pengertian pendidikan Islam mengatakan bahwa kata-kata tarbiyah tidak tepat untuk diterapkan, karena sempit jangkauannya dan terlalu khusus sifatnya, menurutnya lebih tepat mempergunakan istilah ta’lim saja. Sebagimana pendapat beliau dalam bukunya yang berjudul “azas-azas pendidikan Islam” bahwa Islam memandang proses ta’lim lebih universal dibanding dengan proses tarbiyah  yang mana dalam hal ini beliau merujuk pada firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 151.[15]

كَمَآ اَرْسَلْنَا فِيْكُمْ رَسُوْلًا مِّنْكُمْ يَتْلُوْا عَلَيْكُمْ اٰيٰتِنَا وَيُزَكِّيْكُمْ وَيُعَلِّمُكُمُ الْكِتٰبَ وَالْحِكْمَةَ وَيُعَلِّمُكُمْ مَّا لَمْ تَكُوْنُوْا تَعْلَمُوْنَۗ

“Sebagaimana Kami telah mengutus kepadamu seorang Rasul (Muhammad) dari (kalangan) kamu yang membacakan ayat-ayat Kami, menyucikan kamu, dan mengajarkan kepadamu Kitab (Al-Qur'an) dan Hikmah (Sunnah), serta mengajarkan apa yang belum kamu ketahui.”

 

Selanjutnya term At-Ta’dib dalam pendidikan Islam. Al-Attas mengajukan ta’dib untuk mengatasi problema tersebut. Pendidikan dimaknai sebagai proses penanaman adab (ta’dib). Penanaman adab ini menjadi sangat fundamental karena ilmu tidak dapat diajarkan kepada orang yang tidak memiliki adab. Ia mendasarkan kerangka pemikirannya pada ide dan gagasan cendikiawan Islam di masa lampau.[16] Pendidikan dalam konteks al-ta’dib sebagai menjamu, melayani, menanamkan atau mempraktekkan adab kepada seseorang agar berprangai baik dan berdisiplin. Al-Attas misalnya, mengemukakan term al-ta’dib (penyemaian adab dalam diri seseorang) sebagai term paling tepat untuk diidentikkan dengan pendidikan.[17]

 

Berdasarkan definisi diatas, dapat ditarik secara global tentang pendidikan Islam. Ilmu Pendidikan Islam adalah ilmu Pendidikan yang berdasarkan Islam, yang berisi seperangkat ajaran tentang kehidupan manusia; ajarkan  itu dirumuskan berdasarkan dan bersumber pada al-Quran dan hadis serta akal. Jika demikian, maka ilmu Pendidikan Islam adalah  ilmu Pendidikan yang berdasarkan al-Quran, hadis dan akal. Penggunaan dasar ini adalah berurutan; Al-Quran lebih dahulu, jika tidak ada atau tidak jelas dalam al-Quran maka harus dicari dalam hadis; jika tidak ada dalam hadis barulah menggunakan akal (pemikiran) tapi temuan akal itu tidak boleh bertentangan dengan jiwa al-Quran dan atau hadis. Oleh karena itu, teori dalam Pendidikan Islam haruslah dilengkapi dengan ayat-ayat al-Quran dan atau hadis dan atau argument (akal) yang menjamin teori tersebut. Jadi pembuatan dan penulisan teori dalam ilmu Pendidikan Islam tidak jauh berbeda dari pembuatan dan penulisan teori dalam fikih.

Menurut M. Quraish Shihab, Konsep pendidikan Islam yang dihadirkan tidak bisa lepas dari pedoman yang diturunkan oleh Allah SWT yaitu yang tersirat dalam Al-Quran dalam Surat Al-Jumu’ah ayat 2.[18]

هُوَ الَّذِيْ بَعَثَ فِى الْاُمِّيّٖنَ رَسُوْلًا مِّنْهُمْ يَتْلُوْا عَلَيْهِمْ اٰيٰتِهٖ وَيُزَكِّيْهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتٰبَ وَالْحِكْمَةَ وَاِنْ كَانُوْا مِنْ قَبْلُ لَفِيْ ضَلٰلٍ مُّبِيْنٍۙ

“Dialah yang mengutus seorang Rasul kepada kaum yang buta huruf dari kalangan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, menyucikan (jiwa) mereka dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan Hikmah (Sunnah), meskipun sebelumnya, mereka benar-benar dalam kesesatan yang nyata.”

Menurut Abdur Rahman an Nahlawi dalam Azyumardi tentang konsep Tarbiyah (pendidikan) dalam empat unsur, yaitu:

a.       Memelihara pertumbuhan fitrah manusia,

b.      Mengarahkan perkembangan fitrah manusia menuju kesempurnaan,

c.       Mengembangkan potensi insani (sumber daya manusia) untuk mencapai kualitas tertentu, dan

d.      Melaksanakan usaha-usaha tersebut secara bertahap sesuai dengan iramaperkembangan anak.[19]

Pendidikan memang bukan sekadar transfer pengetahuan, pembinaan mental jasmani dan intelek semata, tetapi bagaimana pengetahuan dan pengalaman yang telah didapatkan dipraktekkan dalam perilaku sehari-hari. Ki Hajar Dewantara dalam hal ini menyatakan bahwa pendidikan adalah usaha yang dilakukan dengan penuh keinsyafan yang ditujukan untuk keselamatan dan kebahagiaan manusia. Pendidikan tidak hanya berfungsi sebagai pelaku pembangunan, tetapi sering merupakan perjuangan pula. Pendidikan berarti memelihara hidup tumbuh ke arah kemajuan, tidak boleh melanjutkan keadaan kemarin. Pendidikan adalah usaha kebudayaan, berasas peradaban, yakni memajukan hidup agar mempertinggi derajat kemanusiaan.[20]

 

B.     Dinamika Pendidikan Islam dalam Konteks Pendidikan Nasional

Proses pendidikan merupakan upaya sadar manusia yang tidak pernah ada hentinya. Sebab, jika manusia berhenti melakukan pendidikan, sulit dibayangkan apa yang akan terjadi pada sistem peradaban dan budaya manusia. Dengan ilustrasi ini, maka baik pemerintah maupun masyarakat berupaya untuk melakukan pendidikan dengan standar kualitas yang diinginkan untuk memberdayakan manusia. “Sistem pendidikan yang dibangun harus disesuaikan dengan tuntutan zamannya, agar pendidikan dapat menghasilkan outcome yang relevan dengan tuntutan zaman.[21]

Karel A. Steenbrink mengungkapkan pada permulaan abad ke-20 Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia menjadi salah satu aspek dalam pembaharuan Islam. Perubahan ini digambarkan seperti kebangkitan, pembaharuan, bahkan pencerahan (renaissance). Terdapat empat hal yang menjadi pendorong terjadinya pembaharuan, yaitu:

1.      Semenjak tahun 1900 muncul keinginan kembali kepada al-Quran dan As-Sunnah yang dijadikan titik tolak ukur untuk menilai kebiasaan agama dan budaya.

2.      Sifat perlawanan nasional pada penguasa kolonial Belanda.

3.      Usaha yang kuat dari orang-orang Islam untfunk memperkuat organisasinya di bidang sosial ekonomi, baik kepentingan dirinya maupun kepentingan rakyat.

4.      Berasal dari pembaharuan pendidikan Islam. Banyak orang dan organisasi yang tidak puas dengan metode tradisional dalam mempelajari Al-Quran dan studi agama, maka pribadi-pribadi dan organisasi Islam pada permulaan abad ke-20 ini berusaha mempernbaiki pendidikan Islam, baik dari segi metode maupun isinya. Mereka mengusahakan kemungkinan memberikan pendidikan umum untuk orang Islam.[22]

Pada saat peralihan kekuasaan di Indonesia, ketika Belanda menyerah kepada sekutu. Jepang dengan mudah masuk ke wilayah Indonesia. Peristiwa ini terjadi pada tahun 1942. Kebijakan politik Jepang nampaknya tidak jauh dari skenario yang dibuat oleh kebijakan sebelumnya, yang dibuat oleh Snouck Hurgronje, yaitu memisahkan Islam dari politik praktisnya. Jepang mulai menerapkan pengawasan secara ketat terhadap organisasi-organisasi Islam, terutama pada aspek pendidikan Islam. Namun, paradok dengan yang pertama, rezim pendudukan Jepang juga membuka peluang bagi pemimpin-pemimpin Islam terlibat dalam organisasi-organisasi politis yang diciptakannya. Dalam memobilisasi Islam Indonesia, pemerintah Jepang menciptakan hubungan yang sangat dekat dengan elit Muslim.[23]

Keberadaan sistem pendidikan Islam Indonesia dihadapkan pada berbagai persoalan, antara lain: pengakuan lulusan yang dihasilkan oleh madrasah sebagai sistem pendidikan Islam sampai pada persoalan tata kelola madrasah yang terkesan semrawut. Sementara itu, perkembangan yang terjadi dalam kehidupan sosial, memaksa madrasah harus tetap eksis tanpa harus mengorbankan nilai-nilai yang telah dirintis oleh para ulama sebagai pendiri madrasah. Dalam suasana yang demikian tentu madrasah harus mengubah paradigma sebagai lembaga pendidikan yang “liar” sebagaimana label tersebut pernah diberikan oleh Pemerintah Kolonial Belanda menjadi lembaga pendidikan yang mengikuti kebijakan pemerintah Indonesia dalam meningkatkan mutu pendidikan secara nasional. Karena bagaimanapun juga sistem pendidikan Islam Indonesia telah menjadi bagian dari Sistem Pendidikan Nasional dan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia).[24]

Setelah Indonesia merdeka, umat Islam semakin menyadari pentingnya perjuangan Umat Islam dalam meraih kemerdekaan, dan pemerintah berusaha melakukan memperbaiki pendidikan Islam di Indonesia, dan Sebagai realisasinya Pemerintah Indonesia telah merumuskan dalam undang-undang Republik Indonesia No. 2 Tahun 1989 tentang sistem pendidikan Nasional yang diteruskan dengan UU No. 20 Tahun 2003 yang mengatur penyelenggaraan satu sistem Pendidikan nasional, sebagai upaya pengintegrasian pendidikan Islam dalam sistem pendidikan Nasional, maka dalam makalah ini akan membahas tentang Pendidikan Agama Islam dalam sistem pendidikan Nasional. Pendidikan Islam (pelajaran agama) telah diajarkan di sekolah-sekolah negeri sejak Indonesia merdeka tahun 1945. Pada masa kabinet RI pertama tahun 1945, Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan yang pertama Ki Hajar Dewantara telah mengirimkan surat edaran ke daerah-daerah yang isinya menyatakan bahwa pelajaran budi pekerti yang telah ada pada masa penjajahan Jepang tetap diperkenankan dan diganti namanya menjadi pelajaran Agama. Pada saat tersebut, pendidikan agama belum wajib diberikan pada sekolah-sekolah umum, namun bersifat sukarela/fakultatif, dan tidak menjadi penentu kenaikan/kelulusan peserta didik. Pendidikan Islam berstatus mata pelajaran pokok di sekolah-sekolah umum mulai SD sampai dengan Perguruan Tinggi berdasarkan TAP MPRS nomor XXVII/MPRS/1966 Bab I Pasal I yang berbunyi: “Menetapkan pendidikan agama menjadi mata pelajaran di sekolah-sekolah mulai dari Sekolah Dasar sampai dengan Universitas-Universitas Negeri”. Peraturan ini keluar dengan tanpa protes, setelah penumpasan PKI.[25]

Setelah Indonesia merdeka lebih dari setengah abad perjalanan bangsa ini, dirasakan bahwa pendidikan belum merupakan prioritas utama sehingga akibatnya dirasakan beberapa kesenjangan dalam kualitas manusia Indonesia. Pada zaman Presiden Soekarno berkuasa, prioritas utama tampaknya yaasg dipikirkan adalah masalah-masalah yang berkenaan dengan politik, mulai dari perang fisik dan diplomasi menghadapi Belanda, kemudian jatuh bangunnya kabinet, pemilihan umum pertama dan sidang-sidang konstituante yang selalu dead lock, selanjutnya muncul era konfrontasi dengan Malaysia serta tumbuhnya kekuatan komunis di Indonesia yang puncaknya melahirkan G-30 S PKI. Di era ini dunia pendidikan belum terpikirkan secara serius dan sungguhsungguh. Di era pemerintahan orde baru, pada zaman Presiden Soeharto berkuasa prioritas utama adalah pembangunan ekonomi, dengan titik tumpunya adalah pertumbuhan ekonomi.[26]Dampak negatifnya menimbulkan berbagai hal yang berbau KKN, yang mengantarkan bangsa ini kepada krisis ekonomi dan moneter seperti yang dirasakan saat sekarang ini.

Pada saat reformasi digulirkan, masyarakat Indonesia ingin mewujudkan perubahan dalam semua aspek kehidupannya, termasuk sektor pendidikan. Sebab, sektor pendidikan memiliki peran yang strategis dan fungsional dalam upaya mewujudkan perubahan tersebut. Tetapi, kata Tilaar, pendidikan di Indonesia selama ini diatur dengan sistem pendidikan nasional yang sangat erat kaitannya dengan kehidupan politik bangsa. Akibatnya, menghasilkan manusia-manusia Indonesia tertekan, tidak kritis, bertindak dan berpikir dalam acuan suatu struktur kekuasaan yang hanya mengabdi kepada kepentingan kelompok kecil rakyat Indonesia.[27]

Jika kembali kepada sejarah perkembangan pendidikan Islam di Indonesia, terutama dalam konteks mengintegrasikan pendidikan dalam sistem pendidikan nasional, Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga menteri merupakan regulasi yang bisa merintis penguatan posisi pendidikan Islam secara nasional. Surat Keputusan Bersama tiga menteri tersebut ditandatanganioleh tiga orang menteri, yaitu Menteri Agama, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, serta Menteri Dalam Negeri. Nomor 6 Tahun 1975, Nomor 037/ U/ 1975, dan Nomor 36 Tahun 1975 tentang Peningkatan Mutu Pendidikan Pada Madrasah. SKB tiga Menteri ini ditandatangani di Jakarta oleh 3 orang menteri, yaitu: Dr. H. A. Mukti Ali (Menteri Agama), Dr. Syarief Thajeb (Menteri Pendidikan dan Kebudayaan), dan H. Amir Machmud (Menteri Dalam Negeri) pada tanggal 24 Maret 1975.[28]

Surat Keputusan Bersama (SKB) tersebut berlaku untuk madrasah dan semua jenjang baik negeri maupun swasta, baik madrasah dalam lingkungan pondok pesantren maupun di luar pondok. SKB tersebut bertujuan untuk meningkatkan mutu pendidikan madrasah agar sejajar dengan sekolah umum. Kesejajaran tersebut meliputi: (1). Ijazah madrasah dapat mempunyai nilai yang sama dengan ijazah sekolah umum; (2). Lulusan madrasah dapat melanjutkan ke sekolah umum setingkat lebih tinggi. (3). Siswa madrasah dapat pindah ke sekolah umum yang sama tingkatannya. Hal tersebut ditegaskan lagi dengan merinci bagian-bagian yang menunjukkan kesetaraan madrasah dengan sekolah. Dalam Bab I pasal 1, ayat 2 misalnya dinyatakan: Madrasah itu meliputi tiga tingkatan: (1) Madrasah Ibtidaiyah, setingkat dengan Sekolah Dasar; (2) Madrasah Tsanawiyah, setingkat dengan Sekolah Menengah Pertama; (3) Madrasah Aliyah, setingkat dengan Sekolah Menengah Atas.10 Selanjutnya dalam Bab II pasal 2 ayat a, b, dan c disebutkan bahwa:

Ayat a: Ijazah madrasah dapat mempunyai nilai yang sama dengan ijazah sekolah Umum yang setingkat.

Ayat b: Lulusan madrasah dapat melanjutkan kesekolah umum setingkat lebih atas.

Ayat c: Siswa madrasah dapat berpindah kesekolah umum yang setingkat.11

Mengenai pengelolaan dan pembinaan dinyatakan dalam Bab IV pasal 4 sebagai berikut: (1) Pengelolaan madrasah dilakukan oleh Menteri Agama. (2) Pembinaan mata pelajaran agama pada madrasah dilakukan oleh Menteri Agama. (3) Pembinaan dan pengawasan mutu mata pelajaran umum pada madrasah dilakukan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, bersama-sama dengan Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri.

SKB Tiga Menteri ini dapat dipandang sebagai pengakuan yang lebih nyata terhadap eksistensi madrasah dan sekaligus merupakan langkah strategis menuju tahapan integrasi madrasah ke dalam Sistem Pendidikan Nasional yang tuntas. Dengan SKB tersebut madrasah memperoleh definisinya yang semakin jelas sebagai lembaga pendidikan yang setara dengan sekolah sekalipun pengelolaannya tetap berada pada Departemen Agama.

 Dalam hal ini, madrasah tidak lagi hanya dipandang sebagai lembaga pendidikan keagamaan atau lembaga penyelenggara kewajiban belajar, tetapi sudah merupakan lembaga pendidikan yang menjadikan mata pelajaran agama Islam sebagai mata pelajaran dasar yang sekurang- kurangnya 30%, di samping mata pelajaran umum. Namun oleh Menteri Agama pada saat itu, Mukti Ali, dijelaskan dalam prakteknya kedua mata pelajaran tersebut dapat saling mengisi, sehingga sama-sama 100%.[29]

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa SKB tiga menteri merupakan puncak usaha pemerintah dalam mengatasi ketimpangan antara sekolah-sekolah agama (madrasah) dengan sekolah-sekolah umum untuk menuju ke kesatuan sistem pendidikan nasional. Dengan SKB ini telah tercapai integrasi antara pendidikan agama dan pendidikan umum ke dalam sistem pendidikan nasional. Dengan demikian, berarti bahwa pendidikan Islam tidak dapat dipisahkan dengan pendidikan nasional. Pendidikan Islam telah menjadi bagian integral yang tak terpisahkan dari pendidikan nasional. Secara tidak langsung, implikasi kebijakan ini memberi peluang bagi lulusan madrasah untuk melakukan mobilitas sosial dan vertikal yang selama ini terbatas pada lembaga- lembaga pendidikan tradisional seperti pesantren dan madrasah. Disisi lain hal ini membuka peluang kemungkinan lulusan madrasah untuk memasuki wilayah pekerjaan pada sektor modern.[30]

Indonesia beberapa kali mengalami perbaikan kurikulum, diantaranya kurikulum 1994 yang pada gilirannya diganti dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi tahun 2004. Penerapan KBK pun disekolah tidak bertahan lama karena dua tahun kemudian, tepatnya 2006 pemerintah Indonesia meluncurkan kurikulum baru yaitu Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) sebagai penyempurna dari kurikulum sebelumnya. Perlu dipahami pula, perubahan kurikulum dari masa ke masa menyangkut perubahan struktural dan perubahan konsepsional dan kini juga akan dikenalkan dengan kurikulum baru yaitu kurikulum 2013. Menurut Mohammad Nuh sebagai menteri pendidikan bahwa kurikulum 2013 dirancang sebagai upaya mempersiapkan generasi 2045 yaitu tepatnya 100 tahun Indonesia merdeka, sekaligus memanfaatkan populasi usia produktif yang jumlahnya sangat melimpah agar menjadi bonus demografi dan tidak menjadi bencana demografi.[31] Namun dalam konteks hari ini belum menyentuh pada aspek religiusitas.

Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa dalam wahyu pertama QS. Al-Alaq ayat 1-5 disebutkan,

اِقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِيْ خَلَقَۚ خَلَقَ الْاِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍۚ قْرَأْ وَرَبُّكَ الْاَكْرَمُۙ الَّذِيْ عَلَّمَ بِالْقَلَمِۙ عَلَّمَ الْاِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْۗ

Ayat tersebut menunjukkan tentang contoh hakikat,  mulai  dari  hakikat  Tuhan  serta  hakikat  manusia.  Dalam  dunia  pendidikan,  tidak dapat  dilepaskan  dari  aspek  ontologi  sebagai  kajian  realitas,  hal  ini  karena  sangatlah penting  bahwa  proses  pendidikan  didasarkan  atas  fakta  dan  realitas  bukan  berdasarkan ilusi, khayalan.  Sejalan dengan hal tersebut, ajaran agama Islam menuntut untuk selalu jujur dalam setiap  aspek  kehidupan,  hal  ini  sudah  di  contohkan  Nabi  Muhammad  SAW  yang senantiasa jujur dalam kehidupannya. Oleh karena itu pendidikan Islam juga wajib bersifat jujur  dalam  mengajarkan  hal  yang  bersifat  fakta,  ketika  menjelaskan  ajaran  agama dan  ketuhanan  serta  diimplementasikan  dalam  kehidupan  sehari-hari  dan  mengambil contoh dari apa yang telah diciptakan oleh Allah SWT untuk membuktikan bahwa Allah itu ada  dan  Esa  (satu).[32] Konsep yang disebutkan sejalan dengan kurikulum 2013 yang mengedepankan pendekatan saintifik dalam proses pembelajaran. Adapun Kurikulum 2013 mengembangkan dua modus proses pembelajaran yaitu proses pembelajaran langsung dan proses pembelajaran tidak langsung. Proses pembelajaran langsung adalah proses pendidikan di mana peserta didik mengembangkan pengetahuan, kemampuan berpikir dan keterampilan psikomotorik melalui interaksi langsung dengan sumber belajar yang dirancang dalam silabus dan RPP berupa kegiatan-kegiatan pembelajaran.[33]

Pada era sekarang ini dalam Undang-Undang Sisdiknas ialah konsep kesetaraan, antara satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah dan satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat. Tidak ada lagi istilah satuan pendidikan “plat merah” (pemerintah) atau “plat kuning” (swasta). Semuanya berhak memperoleh dana dari negara, dalam satu sistem yang terpadu. Demikian juga adanya kesetaraan antara satuan pendidikan yang dikelola oleh Depertemen Pendidikan Nasional dengan satuan pendidikan yang dikelola oleh Kementerian Agama dengan ciri khas tertentu. Itulah sebabnya dalam semua jenjang pendidikan disebutkan mengenai nama pendidikan yang diselenggarakan oleh Kementerian Agama (madrasah dst). Dengan demikian Undang-Undang Sisdiknas telah menempatkan pendidikan sebagai satu kesatuan yang sistematik (pasal 4 ayat 2).[34]

Dengan demikian secara berangsur-angsur madrasah dan sekolah Islam (termasuk Madrasah Aliyah) diintegrasikan ke dalam Sistem Pendidikan Nasional. Puncaknya adalah lahirnya kebijakan Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) Nomor 2 tahun 1989 yang memperkuat SKB tersebut. Bahkan dalam kebijakan UUSPN tersebut secara tegas disebutkan bahwa madrasah (termasuk MA/sekolah Islam) adalah sekolah umum yang berciri khas agama Islam. Kemudian diperkuat oleh Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional No 20 Tahun 2003.

C.    Simpulan

         Sejatinya pendidikan Islam merupakan salah satu bentuk upaya dalam membentuk manusia yang sempurna berlandaskan pedoman Al-Quran dan As-sunnah serta diejawantahkan dengan adanya Undang-Undang yang mengatur pola pendidikan sehingga dapat terukur dan terarah sesuai dengan kebutuhan. Begitu pun Pendidikan Islam di Indonesia telah mengalami berbagai perjalanan panjang yang terus diuji oleh zaman hingga akhirnya pendidikan Islam mendapat pengakuan secara nasional. Dalam perjalanannya pendidikan Islam mengalami berbagai macam hambatan dan kendala baik secara internal maupun eksternal yang dihadapinya. Pengalaman yang dimiliki oleh pendidikan Islam sudah menjadi modal penting dalam menjawab berbagai tantangan tersebut. oleh karena itu, perlu upaya penguatan terhadap posisi pendidikan Islam dalam sistem pendidikan nasional. Penguatan tersebut meliputi lembaga dan SDM pendidikan Islam itu sendiri, baik secara kualitas maupun kuantitas. Sehingga pendidikan Islam dapat terasakan secara nasional hasil dari pendidikan yang berdampak untuk umat.

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

A.Steenbrink, Karel. (2000)Pesantren, Madrasah, Sekolah, Pendidikan Islam dalam Kurun Moderen. (Jakarta: LP3ES, Cet-2, 1994)

Anggito, Albi.  Johan Setiawan, “Metode Penelitian Kualitatif” (Sukabumi:CV. Jejak) 2018.

Azra, Azyumardi, Islam Subtantif: Agar Umat Tidak Jadi Buih, (Bandung: Mizan, Cet-1, 2004)

Dewantara, Ki Hajar, Bagian Pertama Pendidikan, (Yogyakarta: Majlis Luhur Persatuan Taman Siswa, 1962)

Fitriani, “Problematika Pendidikan Islam sebagai Sub Sistem Pendidikan Nasional di Era Global.” Jurnal at-Tahrir, Vol. 11 No. 2, (2011), 305

Hamka, Lembaga Hidup, (Jakarta: Djajamurni, 1962)

Huda, Miftahul. “Perkembangan Pendidikan Islam di Indonesia dan Upaya Penguatannya Dalam Sistem Pendidikan Nasional”. Journal of Islamic Education Research, Vol.1 No.02 (2020)

Idris, Muh.“Pembaruan Pendidikan Dalam Konteks Pendidikan Nasional”, Lentera          Pendidikan (Juni 2009), Vol. 12 No. 1.

Inayatulloh, Siti. “Menimbang Penerapan Pendidikan Islam Dalam Sistem Pendidikan Nasional”, An-Nidhom (Jurnal Manajemen Pendidikan Islam), Vol.1 No.2 (2016)

Iqbal, Muh.“Wahyu Pertama Al-Quran Sebagai Pondasi Metafisika Pendidikan Islam”. Edusoshum: Journal Of Islamic Education and Social Humanities. (April 2020) Vol.1 No. 1

Karman, “Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan”(Bandung:Remaja Rosda Karya) Cet.1 2018

Kholis, Nur.“Paradigma Pendidikan Islam Dalam Undang-Undang Sisdiknas 2003”, Jurnal Kependidikan (Mei, 2014) Vol.II No. 1

Mas’udah, Lailatul .“Makna Lafadz Tarbiyah Dengan Term Lain Yang Identik Dalam Al-Quran”,  JALIE : Journal of Applied Linguistics And Islamic Education. (Maret 2018) Vol.02, Nomor 01

Nata. Abuddin. Ilmu Pendidikan Islam. (Jakarta: Prenadamedia Grup.)2017

Nata, Abuddin.”Kapita Selekta Pendidikan Islam: Isu-Isu Kontemporer Tentang Pendidikan Islam. Cet. Ke-1. (Jakarta: Rajawali Pers, 2012)

Rasyidin, dan Samsul Nizar, Al .”Filsafat Pendidikan Islam: Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis Cet. Ke-2, (Jakarta: Ciputat Press, 2005.)

Rohman, Miftahul.“Konsep Tujuan Pendidikan Islam Perspektif Nilai-Nilai Sosial”. Al-Tadzkiyyah: Jurnal Pendidikan Islam. (2018)Vol.9, No. I

Soprayani. “Madrasah dan Pemberdayaan Peran Masyarakat”. Jurnal Darussalam, Vol. 11, No.2, 2010, 130.

Suhandi, “Konsep Pendidikan (al-Ta’dib) untuk membentuk Kepemimpinan Menurut Al-Attas” Kalimah: Jurnal Studi Agama-Agama dan Pemikiran Islam. (September 2020)Vol.18 No. 2

Sulaiman, Moh. “Emotional Spiritual Quotient (ESQ)Dalam Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Kurikulum 2013”. Jurnal Penelitian Pendidikan. (2018) Vol. 6, No.1

Surani, Dewi.“Studi Literatur : Peran Teknologi Pendidikan Dalam Pendidikan 4.0”, Prosiding Seminar Nasional Pendidikan FKIP (2019), Vol. 2, No.1

Suwendi, Sejarah dan Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada) Cet-1, 2004)

Suyanto, Dinamika Pendidikan Nasional (Dalam Percaturan Dunia Globa),PSAP Muhammadiyah, Jakarta. 2006

Tilaar, H.A.R., , Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional Dalam Perspektif Abad 21, Tera Indonesia, Magelang. 1998

Yuliani, Wiwin.”Metode Penelitian Deskriptif Kualitatif dalam perserktif Bimbingan dan kKonseling”, Jurnal Quanta (Mei,2018) Vol.2 No.2

Zain, Ahmad. ”Dinamika Pendidikan Islam”, (Jakarta:PTIQ Press, 2019)



[1] Abuddin Nata,  Kapita Selekta Pendidikan Islam: Isu-Isu Kontemporer Tentang Pendidikan Islam. Cet. Ke-1. (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), 119-120)

[2] Al Rasyidin, dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam: Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis. Cet. Ke-2, (Jakarta: Ciputat Press, 2005.), 22).

[3] Ahmad Zain,”Dinamika Pendidikan Islam”, (Jakarta:PTIQ Press, 2019)h.2

[4] Nur Kholis, “Paradigma Pendidikan Islam Dalam Undang-Undang Sisdiknas 2003”, Jurnal Kependidikan (Mei, 2014) Vol.II No. 1

[5] Muh. Idris, “Pembaruan Pendidikan Dalam Konteks Pendidikan Nasional”, Lentera Pendidikan (Juni 2009), Vol. 12 No. 1.

[6] Albi Anggito, Johan Setiawan, “Metode Penelitian Kualitatif” (Sukabumi:CV. Jejak) 2018., h. 14-16

[7] Wiwin Yuliani, “”Metode Penelitian Deskriptif Kualitatif dalam perserktif Bimbingan dan kKonseling”, Jurnal Quanta (Mei,2018) Vol.2 No.2

[8] Dewi Surani, “Studi Literatur : Peran Teknologi Pendidikan Dalam Pendidikan 4.0”, Prosiding Seminar Nasional Pendidikan FKIP (2019), Vol. 2, No.1 h. 456-469

[9] Nur Kholis, “Paradigma Pendidikan Islam Dalam Undang-Undang Sisdiknas 2003”, Jurnal Kependidikan (Mei, 2014) Vol.II No. 1

[10] Azyumardi Azra, Islam Subtantif: Agar Umat Tidak Jadi Buih, Bandung: Mizan, 2000, h. 132.

[11] Hamka, Lembaga Hidup, Jakarta: Djajamurni, 1962, h. 204.

[12] Abudin Nata. Ilmu Pendidikan Islam. (Jakarta: Prenadamedia Grup.)2017

[13] Karman, “Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan”(Bandung:Remaja Rosda Karya) Cet.1 2018, h. 73

[14] Lailatul Mas’udah, “Makna Lafadz Tarbiyah Dengan Term Lain Yang Identik Dalam Al-Quran”,  JALIE : Journal of Applied Linguistics And Islamic Education. (Maret 2018) Vol.02, Nomor 01

[15] Lailatul Mas’udah. Vol 02, Nomor 01

[16] Suhandi, “Konsep Pendidikan (al-Ta’dib) untuk membentuk Kepemimpinan Menurut Al-Attas” Kalimah: Jurnal Studi Agama-Agama dan Pemikiran Islam. (September 2020)Vol.18 No. 2

[17] Karman, “Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan”(Bandung:Remaja Rosda Karya) Cet.1 2018, h.82

[18] Miftahul Rohman, “Konsep Tujuan Pendidikan Islam Perspektif Nilai-Nilai Sosial”. Al-Tadzkiyyah: Jurnal Pendidikan Islam. (2018)Vol.9, No. I

[19] Nur Kholis, “Paradigma Pendidikan Islam Dalam Undang-Undang Sisdiknas 2003”, Jurnal Kependidikan (Mei, 2014) Vol.II No. 1

[20] Ki Hajar Dewantara, Bagian Pertama Pendidikan, Yogyakarta: Majlis Luhur Persatuan Taman Siswa, 1962, h. 19

[21] Suyanto, Dinamika Pendidikan Nasional (Dalam Percaturan Dunia Globa),PSAP Muhammadiyah, Jakarta. 2006, h. 11

[22] Karel A. Steenbrink, Pesantren, Madrasah, Sekolah, Pendidikan Islam dalam Kurun Moderen. (Jakarta: LP3ES, Cet-2, 1994) h.26-28

[23] Suwendi, Sejarah dan Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cet-1, 2004) h.85-90

[24] Fitriani, “Problematika Pendidikan Islam sebagai Sub Sistem Pendidikan Nasional di Era Global.” Jurnal at-Tahrir, Vol. 11 No. 2, (2011), 305

[25] Miftahul Huda, “Perkembangan Pendidikan Islam di Indonesia dan Upaya Penguatannya Dalam Sistem Pendidikan Nasional”. Journal of Islamic Education Research, Vol.1 No.02 (2020)

[26] Ahmad Zain,”Dinamika Pendidikan Islam”, (Jakarta:PTIQ Press, 2019)h.4

[27] Tilaar, H.A.R., , Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional Dalam Perspektif Abad 21, Tera Indonesia, Magelang. 1998, h.25

[28] Siti Inayatulloh, “Menimbang Penerapan Pendidikan Islam Dalam Sistem Pendidikan Nasional”, An-Nidhom (Jurnal Manajemen Pendidikan Islam), Vol.1 No.2 (2016)

[29] Soprayani. “Madrasah dan Pemberdayaan Peran Masyarakat”. Jurnal Darussalam, Vol. 11, No.2, 2010, 130. 

[30] Miftahul Huda, “Perkembangan Pendidikan Islam di Indonesia dan Upaya Penguatannya Dalam Sistem Pendidikan Nasional”. Journal of Islamic Education Research, Vol.1 No.02 (2020)

[31] Siti Inayatulloh, “Menimbang Penerapan Pendidikan Islam Dalam Sistem Pendidikan Nasional”, An-Nidhom (Jurnal Manajemen Pendidikan Islam), Vol.1 No.2 (2016)

[32] Muh Iqbal, “Wahyu Pertama Al-Quran Sebagai Pondasi Metafisika Pendidikan Islam”. Edusoshum: Journal Of Islamic Education and Social Humanities. (April 2020) Vol.1 No. 1

[33] Moh. Sulaiman, “Emotional Spiritual Quotient (ESQ)Dalam Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Kurikulum 2013”. Jurnal Penelitian Pendidikan. (2018) Vol. 6, No.1

[34] Nur Kholis, “Paradigma Pendidikan Islam Dalam Undang-Undang Sisdiknas 2003”, Jurnal Kependidikan (Mei, 2014) Vol.II No. 1

                                                                    


1 komentar:

  1. Toyyib... Semoga selalu menjadi salah satu media penyebar kebenaran

    BalasHapus

Diberdayakan oleh Blogger.