PEMUDA PELANJUT PERADABAN

 


Oleh : Rizal Rahmatullah, S.Hum
(Bidang Kejamiyyahan PC. Pemuda Persis BE )

Agama yang disampaikan Allah kepada Rasul-Nya, Muhammad saw. Kini telah berusia hampir lima belas abad lamanya, dan kian hari terasa semakin dibutuhkan oleh umat manusia yang mendambakan kehidupan yang tertib, aman dan damai, termasuk di Indonesia. Namun, bersamaan dengan hal tersebut, terdapat tugas mulia, dan suci untuk meneruskan perjuangan menyampaikan risalah Nabi Muhammad saw. Kepada khalayak umat, generasi berikutnya hingga akhir zaman. Mau tidak mau, kaum muslimin berjibaku menghadapi berbagai tintangan yang menghampiri di setiap zamannya.

    Kehadiran agama Islam yang dibawa Nabi Muhammad saw. diyakini mampu menjamin terwujudnya kehidupan manusia yang sejarhtera lahir dan batin. Di dalamnya terdapat berbagai petunjuk tentang bagaimana seharusnya manusia menyikapi hidup dan kehidupan secara arif dan bijaksana serta bermakna dalam arti seluas-luasnya. Islam mengajarkan kehidupan yang dinamis dan progresif serta menghargai potensi akal pikiran melalui pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, bersikap seimbang dalam memenuhi kebutuhan material dan spiritual, senantiasa mengembangkan kepedulian social, menghargai waktu, bersikap terbuka, demokratis, berorientasi pada kualiras, egaliter, kemitraan, anti-feodalistik, mencintai kebersihan, mengutamakan persaudaraan, berakhlak mulia dan sikap-sikap positif lainnya.

    Sejalan dengan pernyataan tersebut, Fazlur Rahman sampai pada satu tesis bahwa secara eksplisit dasar ajaran Al-Quran adalah moral yang memancarkan titik beratnya pada monoteisme dan keadilan sosial. Tesis ini dapat dilihat misalnya pada ajaran tentang ibadah yang penuh dengan muatan peningkatan keimanan dan ketakwaan yang diwujudkan dalam akhlak yang mulia. Sehinga hubungan antara keimanan dan ketakwaan dengan akhlak yang mulia demikian erat. (Harun Nasution, Islam ditinjau dari berbagai Aspeknya) sejatinya hubungan tersebut menjadi identitas tersendiri bagi setiap muslim untuk mampu mengimplementasikan hasil keimanan dan ketakwaan dengan sebuah tindakan atau yang kita kenal disebut dengan akhlak. Sebab, orang lain (sebut saja kafir) tidak akan mau membaca ayat suci Al-Quran (jika dipandang hanya untuk sebuah research), maka kita tampilkan jiwa sebagai seorang muslim melalui akhlak yang mulia. Keberadaan akhlak ini tidak akan muncul begitu saja jika setiap muslim tidak mampu untuk membaca apa yang tersimpan dan tertuang dalam Kalam Allah, Al-Quran dan Uswah Nabi Muhammad saw dalam Sunnah-Haditsnya. Pembacaan merupakan hal yang wajib dilakukan untuk menjadi makanan dasar dan pokok untuk menghadapi rintangan yang dihadapi dalam kehidupan.

Nabi Muhammad saw. bersama para sahabatnya memberikan sebuah uswah dalam menyikapi hidup sehingga mampu berdampak terhadap kehidupan baik itu horizontal maupun vertical. Bukankah wahyu pertama (Al-Alaq:1-5) turun memberikan sebuah warning bahwa sebelum melakukan aksi dibutuhkan sebuah pembacaan terhadap kondisi yang ada. Dalam istilah Kuntowijoyo (seorang sejarawan dan social) menyebutkan dalam bukunya “interpretasi untuk aksi”, dimana kita harus mampu membaca kembali poin-poin penting yang dihadapi umat. Tanpa adanya pola pembacaan yang terarah dan terukur maka akan menghasilkan sebuah interpretasi yang salah dan bahkan bisa menjadi sesat.

    Begitupula Indonesia, kita tahu bahwa Indonesia menjadi salah satu negara muslim terbesar di dunia, mempunyai perjalanan sejarah yang sangat panjang dalam pembentukannya sebagai negara hingga kini. Nuansa Islam amat kental terasa dalam kehidupan social masyarakat. Islam menjadi mayoritas, tetapi bukan berarti Indonesia menjadi negara yang berdasarkan ideology Islam, namun Indonesia mempunyai ideology Pancasila berdasarkan kultur yang terdapat di dalamnya hingga diejawantahkan ke dalam Pancasila. Termasuk nilai-nilai Islam banyak terkandung di dalam Pancasila, seperti Tauhid, Akhlak, Mu’amalah, dan lain sebagainya.

     Jika kita lihat para Founding Father, para perintis negara ini. Mereka terlahir bukanlah dari anak kemarin sore. Melainkan mereka terlahir dari kultur yang bernuansa Islam Tradisionalis dan Modernis. Kita tahu bahwa munculnya mereka ini berdasarkan hasil studi, akademis maupun diskusi yang muncul dari keresahan melihat kondisi realitas yang perlu dibenahi berdasarkan pemahaman mereka dalam menyikapi realitas tersebut. Tepatnya pada kurun awal abad ke-20.an banyak bermunculan tokoh-tokoh pergerakan yang membentuk komunitas dan organisasi pergerakan ibarat jamur di musim hujan. Pergerakan tidak bisa dibendung, namun bukan berarti tanpa adanya hambatan. Hambatan dan tintangan muncul beriringan dengan meningkatnya pergolakan pemikiran antara Islam, Komunis dan Nasionalis.

     Adapun tokoh-tokoh yang bermunculan seperti Buya Hamka, Moh. Natsir, D.N. Aidit, Tan Malaka, Moh. Hatta dan Soekarno. Mereka muncul berdasarkan analisis dari perspektifnya masing-masing, dan ilmu yang dipelajari sebagai dasar dalam membentuk pola pemikiran dan pergerakan. Jika dilihat dari biografi mereka, setiap individu dari sejak kecil telah dikenalkan dengan bacaan yang bermakna dan bermutu. Sebut saja Soekarno, Soekarno usia Sekolah Menengah Pertama sudah mampu membaca buku babon kaum Komunis yaitu Das Kapital karya Karl Marx.

     Mari kita lihat sebagian tokoh-tokoh besar dunia yang lahir dari akhir Abad ke-19 dan awal Abad ke-20.

 1.     Jamaluddin Al-Afghani

Jamaluddin dilahirkan di distrik Kabul Afghanistan pada tahun 1838 M dan meninggal pada tahun 1897 M. siapa yang tidak kenal dengan dia. Beliau adalah tokoh Islam dunia yang mempunyai gagasan untuk mencapai tujuan kesatuan umat Islam (Pan-Islamisme). Gagasan ini tidak hadir begitu saja tetapi dilatarbelakangi dengan proses penguatan aqidah dan intelektualnya. Usia 12 tahun dia sudah mampu menghafal Al-Quran. Beliau mendalami beberapa bidang ilmu seperti hadits, falsafah, mantiq, Ushuludin, dan ilmu kalam ketika di Najaf. Kemudian di usia 18 tahun, dia sudah mendalami berbagai ilmu keislaman dan ilmu umum. Dia dikenal sebagai orang yang menghabiskan hidupnya demi kemajuan Islam. (Republika, Gerakan Pan-Islamisme, Ahad, 12 Oktober 2008)

Bentuk pemikiran dari Jamaluddin Al-Afghani yang tertian dalam ide yang menjadi paradigma pembaharuannya digunakan untuk cambuk mengembalikan kejayaan Islam. Dalam bidang politik tertuang dalam sebuah pembaharuan berdasarkan apa yang telah dibaca, dianalisis menjadi kekuatan sekaligus sumbangan bagi khasanah intelektual.(Sutrisno, Thesis, Konsep Pan-Islamisme Menurut Jamaluddin Al-Afghani)

 2.    Malcolm X

  Malcolm X adalah Menteri Muslim keturunan Afrika-Amerika dan aktivis hak asasi manusia. Malcolm X lahir pada tanggal 19 Mei 1925 di Omaha, Nebraska. Ibunya, Louise Norton Little, seorang ibu rumah tangga sibuk dengan delapan anaknya. Ayahnya, Earl Little, adalah seorang pendeta baptis dan anggota UNIA (Universal Negro Improvement Association) yakni sebuah organisasi yang dirintis oleh Marcos Aurelius Garvey untuk mewadahi perbaikan hidup bagi orang kulit hitam.

  Pada tahun 1946 ia ditangkap dan dihukum atas tuduhan pencurian, dan Malcolm dijatuhi hukuman 10 tahun penjara. Di dalam penjara, ia sering mendapat kunjungan dari saudaranya, Hilda yang akhirnya memperkenalkan Malcolm pada ajaran Islam Sunni. Kemudian ia memutuskan untuk masuk Islam dan belajar pada pimpinan Islam sunni pada saat itu, Elijah Muhammad. Berkat Elijah-lah ia memahami ketertindasan dan ketidakadilan yang menimpa ras hitam sepanjang sejarah. Sejak itulah Malcolm X menjadi seorang napi yang kutu buku mulai dari menekuni sastra, agama, bahasa, dan filsafat.(Republika, Malcolm X, Perjalanan Hidup Sang Martir, 28 Feb 2021)

  Baginya penjara adalah sebuah lembaga pendidikan yang mampu menggembleng dirinya yang tadinya seorang gembel menjadi orang besar yang namanya abadi dalam sejarah dunia, khususnya sejarah Amerika Serikat. Benturan gagasan berdasarkan realitas dilapangan, hendak membangunkan semangat dari dalam dirinya. Pada saat itu warga negro dianggap sebagai warga kelas dua yang pantas untuk dijadikan budak. Dalam penjara dia banyak sekali membaca sejarah perbudakan yang dilakukan dibelahan dunia di sepanjang waktu, termasuk di dunia Islam. Sebagai seorang muallaf, mempunyai kewajiban untuk menghadirkan keadilan dan kesejarhteraan yang merata. Dibenturkan dengan realitas rasian seperti inilah timbulnya kesadaran bahwa melawan kulit putih tidak ada jalan lain selain dengan ilmu pengetahuan. (Suherman, Mereka Besar Karena Membaca)

 3.    Moh. Natsir

 Tanah Minangkabau pada permulaan abad ke-20, dikenal sebagai salah satu daerah pelopor gerakan pembaharuan Indonesia. Daerah ini turut menghadirkan beberapa tokoh besar, baik keagamaan, intelektual, kesusastraan, pendidikan maupun Indonesia. Sebut saja diantaranya, Moh. Hatta, Haji Agus Salim, Sutan Syahrir, Tan Malaka, Moh. Natsir dan Buya Hamka.

 Moh. Natsir lahir pada 17 Juli 1908. Lahir dari seorang ayah yang menjadi juru tulis kontrolir, seorang ibu keturunan Chaniago. Natsir adalah sosok yang nantinya menjadi orang besar, menjadi Menteri pertama dan mencetuskan Mosi Integral hingga terbentuknya NKRI. Sosok Natsir sejak kecil sudah dikenalkan dengan dunia tadris. Pagi hari sudah berangkat di HIS, sore harinya belajar di Madrasah Diniyyah, kemudian belajar mengaji Al-Quran dan ilmu agama lainnya pada malam hari. Disamping itu, Natsir juga berkenalan dan banyak belajar dari ulama besar Persatuan Islam (Persis), Haji Agus Salim, Tjokroaminoto dan Syaikh Ahmad Syurkati. Mereka adalah guru-guru Moh. Natsir yang membentuk pribadi muslim yang kuat dan taat hingga terbawa ke dalam dunia pendidikan. Bahkan Prof. Dadan Wildan menyebutkan sebagai seorang dai politikus.

Itulah sederet tokoh-tokoh besar Islam yang lahir dari landasan membaca. Namun kenyataan Islam sekarang, khususnya di Indonesia, yang menjadi negara dengan mayoritas umat Islam terbesar dunia memiliki index membaca jauh dari yang diharapkan. Studi dari Central Connecticut State University pada 2016 menyebutkan, Indonesia berada pada urutan ke-60 dari 61 negara. Bangsa ini hanya mendapat skor 0,01 persen atau satu berbanding sepuluh ribu. Penelitian lain dari Perpustakaan Nasional RI menyebutkan jika rata-rata orang Indonesia hanya membaca buku 3-4 kali per pekan. Untuk setiap buku, kita menghabiskan waktu rata-rata 30-59 menit. Jumlah buku yang ditamatkan hanya 5-9 buku per tahun. (Republika, 02 April 2020)

Rendahnya minat membaca di Indonesia ini, menjadi bagian dari potret umat Islam. Minimnya literasi membuat rakyat mudah dibohongi. Bahkan kita merasa puas dan bangga diri mendapatkan sebuah informasi bermuatan sensasi tanpa mengetahui sumber tersebut. Media sosial menjadi informasi mutakhir saat ini kita telan mentah-mentah. Budaya tabayun yang sebenarnya diajarkan Al-Quran kita tinggalkan. Padahal, jika kita mau melihat kebelakang, sejarah masa lampau, kaum muslimin sangat lekat dengan tradisi dan peradaban membaca. Bukankah ayat pertama turun berisi perintah sebagaimana yang sudah disinggung diatas.

Ibadah yang dilakukan selama ini oleh Umat Islam seperti, Sholat, Shaum, Zakat, Ibadah haji dan sebagainya hanya berhenti pada posisi sebatas menggugurkan kewajiban dan menjadi lambang kesalehan, sedangkan buah dari aktifitas ibadah tersebut yang berdimensi perubahan akhlak dan kepedulian sosial sudah kurang tampak. Akibat dari kurang membaca dan memahami makna yang terkandung dalam Al-Quran dan As-Sunnah, muncul kesalahan dalam memahami dan menghayati pesan simbolis keagamaan tersebut. Akibatnya simbol-simbol keagamaan tersebut hanya dipandang sebagai penyelamatan individu dan bukan sebagai keberkahan sosial secara bersama. Pesan spiritual Islam menjadi mandeg, terkristal dalam kumpulan mitos dan ungkapan simbolis tanpa makna. Agama tidak muncul dalam satu kesadaran kritis terhadap realitas. Agama tidak muncul sebagai solusi bagi keresahan hidup yang kompleks.

Sebagai contoh, tentang seorang ibu yang mencari tujuh orang untuk diajak patungan dalam mengurbankan seekor sapi. Namun, usaha tersebut tidak berhasil. Yang menyebabkan kegagalan bukanlah sulitnya mencari tujuh orang kawan berpatungan, tetapi karena munculnya pendapat cukup serius bahwa sapi kurban itu diakhirat nanti tidak bisa dinaiki bersama dengan ibu tadi karena bukan muhrimnya.

Kemunculoan kesenjangan antara cita ideal Islam dengan kenyataan yang terjadi dalam kehidupan ini sebagaimana disebutkan diatas, telah banyak menarik perhatian para ahli untuk mencari penyebab, dan sekaligus penawaran alternative pemecacahannya. Salah satunya yang menjadi bahan pertimbangan bagi kita, tanggapan dari Syafi’I Ma’arif yang melihat bahwa penyebabnya adalah :

 1.     Kualitas keagamaan umat yang masih rendah. Menurutnya proses Islamisasi sesungguhnya secara kualitatif belum pernah mencapai tingkat yang sempurna. Islam begitu jauh belum lagi mampu menggantikan sepenuhnya kepercayaan-kepercayaan dan tradisi-tradisi kultural local sebagai basis bagi organisasi sosial.

 2.    Usaha intelektual yang sungguh-sungguh dalam menjelaskan dan mensistematisasikan berbagai aspek ajaran Islam mutlak perlu digalakkan agar umat Islam mempunyai kemampuan mengahadapi dan memecahkan masalah-masalah realitas yang ada, masalah-masalah modern yang sedang dihadapi di Indonesia seperti kemiskinan, keterbelakangan ekonomi, pertambahan penduduk, pendidikan, perkembangan politik, dan yang sangat mendesak adalah masalah keadilan sosio-ekonomi.(Syafi’I Ma’arif, Islam dan Masalah Kenegaraan. Hal. 3)

Masih banyak lagi contoh-contoh yang terjadi dalam melihat realitas yang ada. Kita sebagai pemuda yang mempunyai kewajiban meneruskan risalah Nabi Muhammad saw. sudah sepatutnya menjadi garda terdepan dalam menyikapi hal tersebut. Bahkan harus mampu menjadi solusi keresahan hidup di masyarakat yang kompleks. Membaca dan menganalisis realitas yang terjadi menjadi perbuatan yang seharusnya dituangkan menjadi solusi. Kita mulai dari komunitas paling kecil hingga komunitas lebih besar, dari keluarga sendiri hingga seluruh elemen masyarakat terasakan. Jika tidak dilakukan maka masyarakat akan mencari solusi-solusi terbaik yang ditawarkan oleh para “pedagang” yang tidak berorientasi pada Islam.

 


Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.